Rabu, 13 Maret 2013

Teori Konspirasi ala PKS

Penulis : Dina Y. Sulaeman

Kata ‘konspirasi’ yang dipakai PKS untuk membela diri menjadi bahan olok-olok banyak pihak. Parahnya, olok-olok itu sedemikian meluas sehingga malah berpotensi munculnya antipati terhadap berbagai analisis politik internasional yang ingin menunjukkan bahwa Zionis adalah musuh bersama umat manusia (tidak hanya muslim). Padahal, analisis politik seperti ini tidak hanya ditulis muslim, tetapi juga oleh akademisi non muslim dari Barat, bahkan termasuk oleh professor HI dari AS.
Karena itu saya ingin meluruskan apa itu sebenarnya teori konspirasi. Kapan kita bisa menertawakan orang yang ujug-ujug berlindung di balik kata konspirasi, kapan kita memang harus menggunakan teori konspirasi untuk menjelaskan sesuatu hal yang masih remang-remang?

Saya mendapatkan definisi ini dari Direktur Eksekutif Global Future Institute, Hendrajit, :

Teori konspirasi menjelaskan bahwa penyebab tertinggi dari satu atau serangkaian peristiwa (pada umumnya peristiwa politik, sosial, atau sejarah) adalah suatu rahasia, dan seringkali memperdaya, direncanakan diam-diam oleh sekelompok rahasia orang-orang atau organisasi yang sangat berkuasa atau berpengaruh. Banyak teori konspirasi yang mengklaim bahwa peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah telah didominasi oleh para konspirator belakang layar yang memanipulasi kejadian-kejadian politik. Teori ini ada di seputaran gerak dunia global dan merambah hampir ke semua ranah kehidupan manusia. Dari urusan politik sampai makanan.

Benarkah ada yang disebut konspirasi itu? Tentu saja ada dan kita mendapatinya dalam kehidupan sehari-hari.  Misalnya, main sabun dalam pertandingan sepakbola. Dua tim di balik layar bersepakat untuk mengatur skor pertandingan demi keuntungan mereka di babak pertandingan selanjutnya. Dalam situasi ini, sulit dibuktikan secara hukum positif (mereka tidak akan mengaku/mengiyakan), tetapi indikasinya sedemikian jelas sehingga publik bisa menilai mereka main sabun (dan FIFA pun bisa memberi sanksi). Inilah yang disebut konspirasi.

Tapi, teori konspirasi ini pun tidak sama levelnya. Minimalnya ada dua jenis kelompok pengguna teori konspirasi. Pertama, mereka menggunakan teori ini dengan dukungan argumentasi yang kuat, fakta akurat, data ilmiah, pendapat yang bisa diverifikasi kebenarannya, tokoh-tokoh yang nyata, dan sejarah yang memang tercatat di sumber-sumber yang dianggap valid secara akademis. Kedua, mereka yang menggunakan teori konspirasi tanpa landasan argumen yang kuat dan lebih bersadar kepada mitos. Contohnya, ada kelompok yang percaya John F. Kennedy sebenarnya tidak tertembak, tetapi diselamatkan oleh makhluk angkasa luar. Atau, ketika Lady Gaga datang ke Indonesia, muncul  penentangan dengan mengatakan, “Gaga adalah agen Zionis yang ingin merusak mental generasi muda”. Ya, seni rendahan macam Gaga dkk memang merusak mental generasi muda. Dan kalau ditarik jauh ke akarnya, memang Freemasonry dan Illuminati-lah di belakang seni-seni rendahan dan mengandung pornografi seperti Gaga. Namun, ketika hal itu diungkapkan begitu saja tanpa dukungan argumen yang masuk akal, justru akan dilecehkan dan dikatai ‘menggunakan teori konspirasi.’  Ada banyak argumen yang sederhana yang cukup kuat disampaikan untuk menentang Gaga, tanpa perlu membawa Zionisme.

Contoh penggunaan teori konspirasi pada kelompok pertama adalah tulisan-tulisan sebagian analis politik internasional soal Syria. Ketika mereka sampai pada kesimpulan bahwa perang di Syria didesain oleh Zionis, mereka sebelumnya sudah memberikan bukti-buktinya, tidak ujug-ujug mengklaim demikian. Buktinya apa? Antara lain faktor motif, siapa yang paling diuntungkan jika Assad jatuh?  Mengapa AS, Inggris, dan Prancis sampai mau menggelontorkan dana besar-besaran untuk Free Syrian Army? Mengapa CIA sampai memfasilitasi pengiriman senjata dan pasukan jihad dari Libya ke Syria? Bahkan ada tokoh-tokoh Zionis, antara lain Bernard Levy, yang terbukti ikut dalam mendesain perang Syria dan Libya (dibuktikan dengan transkrip pidato, foto-foto, dll). Terakhir, bahkan Israel sudah langsung terjun ke medan perang membela para pemberontak dan bersama-sama mereka menggempur Assad.

Perkara bahwa para ‘mujahidin’ itu menolak semua bukti ini dan merasa mereka murni berjuang demi menegakkan Islam dan menumbangkan Assad yang “Syiah kafir” itu, itu pembahasan lain. Tapi yang jelas, tulisan-tulisan itu sudah menyampaikan data dan argumen yang valid berdasarkan dunia akademis (bagi orang-orang fanatik, tentu saja data itu dianggap tidak valid, mereka akan terus mendebat tulisan itu dengan mengulang-ulang argumen bahwa Assad adalah Syiah kafir yang sangat zalim.)

Nah, pengolok-olokan teori konspirasi secara gebyah uyah, menyamakan saja tanpa melihat apakah seseorang menggunakan argumen yang jelas atau sekedar main tuduh “Ini salah Zionis!” jelas memprihatinkan.  Saya cukup khawatir ketika untuk kasus PKS ini banyak yang mengolok-olok soal Zionis. Seolah-olah ketika ada yang berkata, “Dalang di balik semua ini adalah Zionis”, itu adalah omong kosong yang harus ditertawakan.

Tapi saya pun bisa memahami ketika banyak pihak sinis saat PKS menggunakan kata konspirasi dan membawa-bawa Zionis dalam urusan mereka.  Mengapa?  Karena memang terlalu disambung-sambungkan. Inilah penggunaan teori konspirasi kelompok dua, yang hanya berlandaskan mitos.

Perlu dicatat di sini, konspirasi dalam penangkapan LHI sebenarnya juga sangat kasat mata. Mengapa LHI ditangkap sementara Anas dan Andi Mallarangeng masih bebas? Dari kronologi penangkapan juga banyak kejanggalan. Mengapa AF harus ditangkap saat berduaan dengan perempuan, bukan pada saat dia setor ke LHI atau saat terima uang dari dua penguasaha daging itu? Supaya kasus ini jadi semakin seksi karena ada perempuan panggilan yang terlibat?

Kejanggalan ini menunjukkan indikasi ada ‘musyawarah tak terlihat’, tapi bisa tercium baunya. Politik di Indonesia sudah sedemikian kotor sehingga publik sudah sangat yakin bahwa (hampir) semua politisi itu korup. Hanya masalahnya, siapa yang ditangkap dan kapan ditangkapnya? Partai penguasa jelas lebih leluasa mengatur di balik layar. Itulah sebabnya LHI ditangkap duluan, sementara Anas masih bebas. Apalagi, penangkapan LHI bertepatan dengan pemberitaan Jakarta Post soal manipulasi pajak keluarga Cikeas. Berita itu menjadi tenggelam oleh hebohnya kasus LHI (apalagi ada bumbu gadis cantik itu). Di sinilah ada konspirasi.  Tetapi, konspirasinya adalah dalam “siapa yang harus ditangkap”, bukan pada esensi “siapa yang korupsi”.

Tapi pembelaan diri dengan menggunakan teori konspirasi ini tidak akan menghapus dosa politik PKS di mata publik (selain kader militan PKS tentunya). Mengapa? Karena bukti-bukti dan track record  sebagian petinggi PKS selama ini memang cukup membuat publik percaya bahwa mereka korupsi (atau setidaknya menerima gratifikasi). Misalnya saja, kehidupan mewah para politisi PKS, sudah banyak dilaporkan media massa. Kisah jam tangan Rolex Anis Matta pun sudah sedemikian melegenda. Bahkan Anis kepada media massa pernah menyatakan gaya hidup mewah pejabat publik itu urusan pribadi dan tidak perlu diintervensi.

Apalagi, kasus suap impor daging pun mencuat sejak 2011 dan saat itu pun PKS sudah disebut terlibat. Selain itu, PKS selama ini tidak melakukan aksi nyata soal perampokan sumber daya alam oleh perusahaan multinasional. Pembelaan PKS terhadap kepentingan nasional sama sekali tidak dirasakan oleh publik. Publik melihat politisi PKS hanya sibuk mengurus partai dan kesejahteraannya sendiri.

Jadi, ketika mereka berusaha membela diri dengan membawa-bawa konspirasi dan Zionis, memang pantas bila banyak orang tertawa. Lompatan logikanya terlalu jauh dan tidak berterima oleh publik. Inilah kesalahan fatal dalam penggunaan teori konspirasi. Tapi, publik pun jangan sampai lengah. Zionisme memang ada, dalam berbagai wujud, mulai dari tataran ideologis hingga perusahaan multinasional yang ingin merampok kekayaan alam di negeri ini.
 
*magister Hubungan Internasional Unpad; research associate of Global Future Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar