Minggu, 25 Desember 2011

PANCASILA, UUD ’45, NKRI DAN BHINNEKA TUNGGAL IKA STRATEGI DAN IMPLEMENTASINYA

-->
Pendahuluan

Seminar sehari yang diselenggarakan Lembaga Kajian Kebangsaan Kabupaten Banyuwangi dengan tema “Pancasila, UUD, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika sebagai Pemersatu Bangsa” ini menarik mengikuti proses perkembangan negaranya.

Upaya mengkritisi tema di atas, rasanya perlu dilakukan dialog mendalam tentang pemahaman apa itu Pancasila,UUD, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.

Pancasila adalah ideologi bangsa, sebagai falsafah dasar bangsa Indonesia yang harus menjadi roh setiap perilaku dan tindakan semua warga negara Indonesia. Pancasila yang merupakan falsafah dasar negara bangsa itu terdiri dari (1) KETUHANAN YANG MAHA ESA; (2) KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB; (3) PERSATUAN INDONESIA; (4) KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN /PERWAKILAN; (5) KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH BANGSA INDONESIA. Dewasa ini Pancasila sebagai falsafah dasar dan/atau ideologi bangsa masih dalam proses, belum seluruhnya tercapai seperti yang diharapkan. Berbagai ideologi dan agama mencoba berinteraksi dengan Pancasila, bahkan masih ada sebagian dari warga negara yang memperjuangkan falsafah dasar dan agama yang digunakan oleh negara lain untuk mempengaruhi dan mengubah Pancasila sebagai ideologi bangsa dan/atau falsafah dasar negara Indonesia. Keseluruhannya itu menjadi tantangan bangsa dan negara yang relatif muda dalam proses menjadikan Pancasila sebagai falsafah dasar dan ideologi negara bangsa Indonesia.

UUD Negara Indonesia yang berlaku saat ini adalah UUD’45 yang terdiri dari 37 pasal, 4 pasal aturan peralihan dan 2 ayat aturan tambahan, yaitu UUD yang disepakati oleh negara bangsa Indonesia sebagai tatanan yang menjadi dasar-dasar sistem kenegaraan yang harus dipatuhi seluruh warga negara Indonesia. Namun kenyataannya masih banyak sistem negara lain yang mencoba untuk berlaku di negara ini, misalnya sistem komunis, liberal dan lain sebagainya. Hal itu berarti UUD ’45 juga harus diperjuangkan oleh negara bangsa ini dengan meminimalkan sejauh mungkin pengaruh sistem lain yang dicoba untuk dipaksakan di negara bangsa yang relatif muda ini.

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah satu bentuk negara yang sudah disepakati negara bangsa ini sebagai satu-satunya wadah warga negara Indonesia yang sah menurut sistem yang ada.

Bhinneka Tunggal Ika adalah satu semboyan yang digunakan oleh negara bangsa ini untuk menyatakan adanya suatu kesadaran tentang ragam suku bangsa yang mungkin lebih dari 3000 suku bangsa yang ada di negara ini, namun mereka membentuk sebagai satu bangsa yang bernaung di negara Indonesia.

Pancasila sebagai falsafah Negara Indonesia, UUD’45 sebagai sistem Negara yang harus dipatuhi seluruh warga negara, sedangkan NKRI sebagai bentuk negara yang sah menurut sistem yang ada, sedangkan Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan negara bangsa. Status dan kedudukan keempatnya tidak dapat dipersamakan karena memiliki status dan kedudukan yang berbeda. Selain daripada itu persyaratan berdirinya suatu negara adalah (a) ada 0rang (people) yang menyatakan ingin mendirikan negara, (b) ada wadah dan bentuknya; (c) ada UUD sebagai sistem kenegaraan.

Pancasila, UUD ’45, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika apabila dilaksanakan secara benar maka akan menjadi wahana yang diperlukan oleh negara bangsa Indonesia. Namun harus diakui bahwa semuanya itu masih dalam proses, berarti belum sepenuhnya tercapai apa yang tersurat maupun yang tersirat dalam tujuan negara bangsa yang “MERDEKA” dengan korban darah dan nyawa.

Pancasila, UUD ’45, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai pemersatu bangsa sebenarnya sudah final. Selanjutnya , yang menjadi masalah adalah setiap kepemimpinan negara ini berubah strategi dan implementasi untuk mencapai tujuan negara seperti yang disebutkan dalam UUD 45 selalu berbeda-beda dan belum mengerucut ke arah pencapain tujuan yang ditetapkan oleh negara bangsa ini. Sehingga yang perlu disepakati bersama dan didiskusikan secara mendalam adalah bagaimana strategi dan implementasinya.



Strategi dan Implementasi

Negara Indonesia yang didirikan pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan kesepakatan kolektif yang dicetuskan oleh para pendiri republik (the founding fathers) setelah melewati sekian fase perjuangan membebaskan diri dari cengkraman imprerialisme-kolonialisme. Perjuangan panjang yang mengorbankan banyak nyawa dan harta benda membuktikan bahwa terciptanya negara Indonesia merupakan kristalisasi dari pergumulan pencarian identitas diri dalam mewujudkan suatu keinginan bersama membentuk suatu bangsa. Komitmen bangsa lahir sebagai akumulasi dan pertemuan dari perasaan senasib dan sepenanggungan yang dialami oleh elemen-elemen bangsa terhadap tatanan imperialisme-kolonialisme yang menindas dan menghisap. Sikap dan tindakan melakukan penolakan dan perlawanan terhadap imperialisme-kolonialisme merupakan suatu wujud kesadaran bahwa sistem yang eksploitatif dalam imperialisme-kolonialisme selamanya tidak memberikan tempat bagi terjaminnya persamaan derajat dan kedudukan antar sesama manusia. Perjuangan secara simultan inilah yang akhirnya mampu melahirkan negara Indonesia yang secara eksplisit menegaskan suatu tekad menghapuskan penjajahan di atas dunia. Adapun cita-cita idealistik yang hendak diraih adalah mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang berkeadilan sosial.

Berdirinya negara Indonesia merupakan perjanjian luhur yang menghimpun segenap potensi elemen bangsa yang meleburkan diri demi kepentingan nasional dalam menyongsong hari depan yang lebih baik. Momentum ini merupakan tonggak sejarah dimulainya kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebuah bangsa yang di dalamnya menghimpun segenap pluralitas telah didirikan. Sebuah negara yang mempertemukan batas laut dan darat dalam suatu negara kepulauan telah dibangun. Betapa beragamnya elemen yang terhimpun dalam tali ikatan kesatuan bangsa kita dan betapa luasnya wilayah yang menjadi batas-batas teritorial negara kita. Kemampuan dalam mengitegrasikan dalam satu kesatuan merupakan “karya agung” yang patut dicatat dalam sejarah. Sehingga, tidak berlebihan jika kita merupakan bangsa dan negara yang besar dalam tata pergaulan internasional.

Kemerdekaan sebagai titik pijak dimulainya dinamika kebangsaan dan kenegaraan merupakan awal dari tekad dan kesanggupan melaksanakan misi menggapai cita-cita bangsa. Inilah beban historis bagi kita semua sebagai generasi penerus dalam menjaga dan mengisi kemerdekaan. Suatu tugas yang amat berat dan penuh tantangan karena penyelenggaraan negara merupakan manifestasi dan implementasi dari segala cita-cita bangsa yang hendak dicapai.

Apakah dengan kebesaran bangsa dan negara ini kita akan terpaku dengan romantisme masa lampau, sementara sekarang kita dihadapkan pada cobaan yang sungguh amat berat? Sejarah pada dasarnya merupakan refleksi dari masa lampau yang memberi keteladanan dan kearifan dalam bertindak di masa kini dan menapak di masa depan. Tanpa memiliki pegangan dan panduan dari yang terjadi di masa lampau, kita akan kehilangan arah dalam mengatur langkah ke depan. Inilah nilai penting yang terkandung pada perlunya ditumbuhkan kesadaran sejarah. Pada hakekatnya, kesadaran sejarah menjadi bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari perjalanan bangsa.

Momentum kebangkitan nasional dan pencapaian kemerdekaan serta perjalanan bangsa kita lebih dari setengah abad ini telah memberikan banyak sekali pelajaran berharga. Baik yang menggembirakan maupun yang menyedihkan. Suatu keharusan sejarah jika negara kita mengalami pasang surut, timbul tenggelam, bangun jatuh, kejayaan kemerosotan. Di sinilah kita memahami dinamika keberlangsungan suatu bangsa.

Penyelenggaraan negara menyangkut komitmen moral menjaga keutuhan bangsa. Kita semua tentu tidak menginginkan bangsa ini menjadi tercabik-cabik dan tercerai-berai. Sejarah telah memberikan pelajaran berharga bahwa nasib dan kelangsungan hidup suatu bangsa ditentukan oleh semangat bangsa itu sendiri. Manakala semangat bangsa tersebut telah pudar atau bahkan telah lenyap maka riwayat bangsa tersebut akan punah dengan sendirinya meskipun tanpa dihadapkan pada ancaman dari luar. Inilah yang seharusnya disadari bahwa tanpa upaya mempertahankan semangat kebangsaan, maka nasib bangsa akan menuju ke jurang kehancuran,. Jika hal tersebut terjadi, maka ini merupakan episode yang tragis dan mengenaskan dalam perjalanan hidup bangsa kita.

Sekarang ini dihadapkan pada berbagai masalah yang menimpa bangsa kita. Pendengaran kita tiba-tiba menjadi sedemikian “akrab” dengan keluhan, jeritan, dan bahkan umpatan suara rakyat yang kesulitan hidup karena setiap hari, bahkan setiap jam, terpaksa harus “menyesuaikan” kebutuhan hidupnya. Nurani kita mungkin juga merasakan bahwa sebagai bangsa kita telah kehilangan kepribadian dan jati diri. Betapa banyak peristiwa mengharukan yang terjadi disekitar kita. Inilah potret buram bangsa kita yang mengharuskan kita prihatin dan peduli mencari solusi untuk mengatasinya secara bijaksana.

Dalam kondisi seperti ini, kesadaran pada visi dan orientasi kebangsaan menjadi salah satu faktor yang dapat menggalang kebersamaan. Kebersamaan dalam satu semangat kebangsaan menuju pencapaian cita-cita luhur bangsa sebagaimana yang diformulasikan oleh generasi pendahulu kita.

Mengelola kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam era transisi ternyata tidak semudah sebagaimana kita membalik tangan. “Cetak biru” demokratisasi menjadi kata kunci yang telah disepakati untuk Indonesia. Demokratisasi adalah sebuah kehendak bagaimana demokrasi menjadi keniscayaan dan dianggap sebagai pilihan terbaik untuk mendefinisikan ulang “potret” kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan kita. Era transisi menuju demokrasi dalam berbagai kasus seringkali juga dipahami sebagai era crucial yang akan menentukan nasib sebuah bangsa ke depan. Kita bisa belajar dari pengalaman negara lain yang gagal atau tidak dapat menuntaskan proses demokratisasinya justru di tengah-tengah arus perubahan dan pembaruan.

Penyelenggaraan negara dalam era transisi menyangkut komitmen moral menjaga keutuhan bangsa. Komitmen bangsa lahir sebagai akumulasi dan pertemuan dari perasaan senasib dan sepenanggungan yang dialami oleh komponen-komponen cikal bakal bangsa terhadap tatanan dan konstruksi imperialisme-kolonialisme yang menghisap dan menindas. Berdirinya negara Indonesia merupakan perjanjian luhur yang menghimpun segenap komponen cikal bakal bangsa yang meleburkan diri demi kepentingan nasional dalam menyongsong hari depan yang lebih baik. Menjadi sangat kontra-produktif jika di era sekarang ini yang dinyatakan sebagai era pembaruan tatanan kenegaraan menciptakan “bias” bagi situasi yang justru mengingkari komitmen dasar ketika negara ini didirikan.

Berbagai perubahan mulai dari kesepakatan (komitmen) bangsa ini untuk bersatu, mendirikan negara, kemudian menyelenggarakan bersama roda pemerintahan, sampai saat ini telah berproses dari semangat kebersamaan (sumpah pemuda), diikuti semangat kesetaraan (equity), kemudian saat ini sampai pada proses semangat kesejahteraan (prosperity) , jangan sampai menimbulkan tercabik-cabiknya negara ini melainkan mempertebal semangat kesatuan dan persatuan bangsa. Konflik sosial yang ada bukan menjadi konflik yang permanen, melainkan kemampuan mengelola masyarakat dari perbedaan-perebedaan yang ada. Semangat ini yang harus dimiliki dan ditumbuhkembangkan dengan benar untuk mengisi kemerdekaan.

Demokrasi seharusnya tidak “mengorbankan” jati diri dan martabat kita sebagai bangsa. Pencanangan, komitmen dan pelaksanaan demokrasi justru sudah harus menciptakan konstruksi kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan yang semakin dewasa dan bertanggung jawab. Dengan demikian, tatanan “Indonesia Baru” sebagaimana yang ditekadkan seharusnya diletakkan dalam kerangka strategis yang tidak bisa begitu saja dipisahkan dengan proses pendirian Indonesia. Sehingga “wajah” Indonesia Baru tidak kehilangan jati diri dan martabat semata-mata karena adanya tekad untuk melakukan perubahan dan pembaruan. Inilah salah satu tema besar kita dalam memformulasikan dan melaksanakan proses demokratisasi bagi Indonesia. Dalam kondisi seperti ini, kesadaran pada visi dan orientasi kebangsaan menjadi salah satu faktor yang dapat menggalang kebersamaan. Kebersamaan dalam satu semangat kebangsaan menuju pencapaian cita-cita luhur bangsa sebagaimana yang diformulasikan dan dicita-citakan oleh generasi pendahulu kita.

Padahal Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 jelas disebutkan:

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tujuan membentuk Negara dan Pemerintahan Indonesia menurut Pembukaan UUD 1945 adalah :

  1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
  2. Memajukan kesejahteraan umum.
  3. Mencerdaskan kehidupan bangsa.
  4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
  5. Untuk mencapai poin 1-4 di atas didasarkan Kemerdekaan kebangsaan Indonesia yang dibangun atas dasar UUD 1945 dan falsafah Pancasila.

Dalam upaya mewujudkan keinginan seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 di atas, diperlukan strategi yang berkelanjutan. Berdasarkan sejarah kebangsaan Indonesia dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa setiap pergantian pemerintahan dari satu periode ke periode lain selalu terjadi perubahan kebijakan, strategi dan implementasinya. Sejarah menunjukkan bahwa bukan hanya bangsa Indonesia sendiri yang menentukan keinginan mewujudkan cita-cita bangsa tersebut, namun ada berbagai pengaruh kekuatan baik ideologi, teknologi, maupun pengaruh kekuasaan dan kekuatan negara lain di dunia yang selalu berinteraksi baik disengaja maupun tidak dengan upaya mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia seperti yang termaktub dalam UUD 1945. Pemerintahan yang berkuasa dari waktu ke waktu relatif kurang konsisten dalam strategi dan implementasi dasar-dasar negara yang sudah disepakati bersama. Akibatnya walaupun UUD 1945 tetap digunakan, faktanya masih terjadi perbedaan pandangan diantara para pimpinan negara dalam pelaksanaan dan implementasinya. Misalnya, pada jaman orde baru terjadi konflik antara pengikut-pengikut liberalisasi yang dicanangkan oleh Berrkley dengan faham sosialis yang dicanangkan pengikut-pengikut Sorbone. Adanya friksi antara pengaruh liberal Amerika, sosialis Eropa, komunis Cina dan Rusia, dan berbagai ideologi lainnya yang berkembang sering menjadi isu dewasa ini. Bahkan bisa menjadi sumber konflik sosial,ekonomi, maupun ideologi dalam masyarakat yang menjadi penganut dari internasional issues yang mempengaruhi perjalanan sejarah bangsa Indonesia, baik disadari maupun tidak disadari.

Tidak ada masyarakat yang bebas dari konflik. Filsuf Jean P. Sartre yang disitir Naya mengatakan bahwa "konflik itu indah" (conflict is beautiful), selanjutnya I Nyoman Naya Sujana, DR. menyatakan bahwa konflik adalah realitas. Lebih lanjut Naya katakan bahwa konflik sosial itu realitas kosmologis, dalam arti bahwa konflik sosial tersebut dapat terjadi dalam diri kita, dalam masyarakat, bahkan dalam alam semesta. Pandangan dari sisi ilmu fisika, untuk peningkatan spektakuler diperlukan benturan antar nucleous agar supaya ada peningkatan yang melesat tinggi (spektakuler). Masalahnya adalah menjadikan benturan tadi menjadi manfaat untuk kepentingan dan kemajuan umat manusia, bukan menjadi alat penghancur alam semesta. Keindahan konflik mungkin terletak pada kemampuan manusia mengelola konflik untuk kepentingan kehidupan manusia menjadi lebih baik seperti yang dimimpikan atau dicita-citakan bersama.

Di Indonesia, di seluruh dunia konflik terjadi dimana-mana, bisa terjadi konflik antar bangsa, konflik antar kelompok etnis (ethnis group), konflik antar anggota masyarakat dengan alasan yang sangat ragam. Beberapa kasus konflik antar kelompok etnis, antar agama, antar kepentingan terjadi di daerah-daerah Sumatra (Aceh, Rantau Rasu Jambi), Kalimantan (Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat), Maluku (antar agama), Poso (antar agama), Irian (antar etnis), Sulawesi Selatan (antar agama, antar kepentingan). Di Jawa, satu pulau yang merupakan 7 % dari negara kepulauan (archipelago) dengan penduduk 70 % dari seluruh penduduk di Indonesia lebih merupakan konflik antar kepentingan, demikian pula halnya Bali dan Lombok.

Konflik sosial terjadi karena berbagai alasan, antara lain karena kepentingan, perebutan kekusasaan, perebutan dominasi bisnis, kecemburuan sosial, arogansi, perebutan aset sampai pada kepentingan dominasi wilayah, dan berbagai alasan lainnya. Permasalahannya bagaimana agar konflik yang terjadi tidak menjadi anarkhis dan melakukan pertumpahan darah yang mengakibatkan keretakan dan ketidakharmonisan dalam membangun integrasi sosial budaya (cross culture) antar suku bangsa dan tidak berubah menjadi permanent conflict. Walaupun kenyataannya pertumpahan darah masih selalu mewarnai konflik sosial antar kelompok etnis dan antar agama serta antar kepentingan. Apabila bisa dijembatani (bridging) dengan rasa ingin bersatunya satu bangsa dan satu wilayah yang besar, serta tidak ada konflik permanen seharusnya tidak mengancam integrasi suatu bangsa.

Pada zaman kemerdekaan tahun 1945 bersatunya bangsa Indonesia dan berdirinya negara Indonesia karena adanya keinginan seluruh bangsa Indonesia dalam satu wilayah kesatuan Indonesia (sebagai negara archipelago) untuk "merdeka" dalam kerukunan nasional mendirikan "Negara Indonesia" yang berdaulat. Komitmen (kesepakatan) nasional ini merupakan modal dasar yang sangat besar, semua konflik sosial seharusnya tidak sampai mengancam disintegrasi bangsa. Semua konflik sosial diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat sesuai dengan etika moral dan azas kerukunan nasional, diselesaikan dengan penuh tenggang rasa dan damai. Adanya sekelompok masyarakat yang ingin memaksakan kehendak dan melupakan azas kerukunan nasional dan damai ini yang mengakibatkan pertumpahan darah. Kepentingan nasional menjadi utama, bukan kepentingan kelompok atau kepentingan individu. Ide, gagasan dan pemikiran kritis menjadi pusat pengembangan manusia (people centre). Perbedaan-perbedaannya perlu dicermati untuk menghasilkan satu pemikiran yang lebih sempurna, perbedaan-perbedaan itu bukan mencadi sumber konflik melainkan menjadi sumber kekayaan suatu bangsa.

Pengelolaan konflik sosial (conflict management) yang didasarkan pada pengetahuan atau jejaring ilmu pengetahuan (knowledge net working) perlu dikembangkan untuk dapat mendasari integrasi suatu bangsa. Apakah mempertemukan antar kepentingan (interest group), apakah mempertemukan antar kultur (cross culture), apakah mengelola/ mempertemukan antar kekuasaan, apakah mengelola antar kekuatan dalam satu kehidupan bangsa yang demokratis dan damai, dan masih banyak friksi-friksi yang lain memerlukan jejaring ilmu pengetahuan dan aturan-aturan dasar yang menjadi sistem dan dipatuhi bersama seluruh bangsa, sudah barang tentu dengan disiplin adanya reward dan punishment yang disepakati bersama. "Mimpi ini perlu direalisir sehingga konflik itu menjadi indah."



PENUTUP

Pancasila, UUD ’45, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika sudah final sebagai pemersatu bangsa. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana strategi dan implementasi untuk mencapai tujuan, dimana setiap pergantian kepemimpinan di negara ini tidak boleh menyimpang dari Pancasila dan UUD ’45. Setiap pergantian kepemimpinan bangsa harus mempelajari sejarah yang pernah ada untuk diambil hikmah positifnya. Sehingga kesadaran sejarah menjadi bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari perjalanan bangsa.

Demokrasi seharusnya tidak “mengorbankan” jati diri dan martabat kita sebagai bangsa. Selain itu, konflik adalah realitas. Bhinneka Tunggal Ika menyiratkan bahwa negara kita memiliki suku bangsa yang berbeda-beda, sehingga konflik pasti akan terjadi, sehingga yang diperlukan adalah bagaimana pengelolaan konflik sosial (conflict management) yang didasarkan pada pengetahuan atau jejaring ilmu pengetahuan (knowledge net working) perlu dikembangkan untuk dapat mendasari integrasi suatu bangsa. Sehingga tidak ada konflik permanen yang akan mengancam integrasi suatu bangsa.



(Disampaikan dalam seminar sehari LEMBAGA KAJIAN KEBANGSAAN (LKK) BANYUWANGI oleh Prof.Dr.H Kabul Santoso.MS)





DAFTAR PUSTAKA

Alfian dkk, 1980, Kemiskinan Struktural, Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta.

Ascher, William and Robert Healy, 1990, Natural Resource Policy Making in Developing Countries, Duke University, Durham, London.

Astrid S Susanto, 1984, Sosiologi Pembangunan, Bina Cipta, Bandung.

Atal, Yogash and Ralph Pieris, 1980, diterjemahkan oleh Hasan Basri, Kritik Asia Terhadap Pembangunan, Yayasan Ilmi-Ilmu Sosial, Jakarta.

Cane, Sheila, 1998, Kaizen Strategies for Winning Through People, Interaksara, Batam.

Collier, William L, Wiradi, Gunawan, Soentoro, Makali dan Kabul Santoso, 1988, Employment Trends In Lowland Javanese Villages, USAID.

Chamber, Robert, 1987, Penerjemah Pepe Sudrajat, Pembangunan Masyarakat Desa, LP3ES, Jakarta.

Colleta, Nat J dan Umar Kayam, 1987, Kebudayaan dan Pembangunan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Conyers, Diana, 1982, An Introduction to Social Planning in The Third Word, John Wiley & Sons, New York.

Dasmann, Raymond F, etal, 1977, Prinsip Ekologi untuk Pembangunan Ekonomi, Gramedia, Jakarta.

Departemen Sosial RI Kerja sama dengan Jurusan Ilmu Sosiatri FISIPOL UGM, Masalah Sosial Kemiskinan di daerah Pedesaan Indonesia, Laporan Penelitian 1992.

Dixon, Chris, 1990 Rural Development in The Third World, Routledge, London, Sydney, Toronto.

Elitzen, Stanley D, 1986, Social Problems, Allyn and Bacon Inc, Boston, London, Sydney, Toronto.

Elliot, Mabel A and Francis Merril, 1961, Social Disorganization, Harper Brother Publisher, New York.

Emil Salim, 1991, Pembangunan Berkelanjutan, Strategi Alternatif dalam Pembangunan Dekade Sembilan Puluhan, PRISMA No. 1 tahun XX.

……………., 1986, Pembangunan Berwawasan Lingkungan, LP3ES, Jakarta.

Garbarino, James, 1992, Toward A Sustainable Society, The Noble Press, Inc, Chicago.

Goode, Erich, 1992, Collective Behavior, A Harcourt Brace Javanovich College Publisher, Fort Worth, Philadelpia, San Diego, New York.

Goulet, Denis, 1973, The Cruel Choise, A New Concept in The Theory of Development, Center for The Study of Development and Social Change, Cambride, Messachusettes, New York.

Gibert, Neil and Herry Specht, 1977, Planning For Social Welfare, Prentice Hall, Inc, Englewood Cliffts, New York.

Hardiman, Margaret and James Midgley, 1982, The Social Dimensions of Development, John Willey & Sons Ltd, New York.

Honabde, George and Jerry Van Sant, 1985, Implementation for Sustainability, Kumarian Press, Connecticut.

Johnson, Bruce F and Willian Clark, Redesign Rural Development, A Strategic Perspective, The Johns Hopkins University Press, Baltimore and London.

Johnson, Doyle Paul, 1986, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Gramedia, Jakarta.

Julian, Joseph and Willian Kornblum, 1086, Social Problems, Prentice Hall, Inc, Englewood Cliffs, New Jersey.

Kabul Santoso, 1992, Kemiskinan : Reorientasi Strategi dan Pengendaliannya, Disampaikan Dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Administrasi Niaga/Ekonomi Pertanian, Universitas Jember.

Kabul Santoso, 1997, Metodologi Penelitian Sosial.

Kabul Santoso, Soentoro, Rudi Wibowo and William L. Collier, 1996, Pendekatan Baru Dalam Pembangunan Pedesaan di Jawa, Kajian Pedesaan Selama Dua Lima Tahun, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Kabul Santoso, 1991, Evaluasi Proyek Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah di Jawa Timur, UACP

Kabul Santoso, 1984, Pergeseran Pandangan Moral dan Relevansinya Terhadap Teori- teori Ekonomi, Jember : Universitas Jember.

Kabul Santoso, Soentoro, Sri Hartoyo, WL. Collier, 1989, Studi Dinamika Pedesaan Mobilitas Modal dan Agro Industri, Departemen Pertanian Biro Perencanaan.

Kabul Santoso, Rudi Wibowo, Ida Harjanto, Agus Budihardjo, Liakip, Sigit Susanto, Soesiyohadi, Wagito, Riyanto dan Soenaryo DW, 1992, Kebijaksanaan Pertanian Untuk Menunjang Agro Industri di Indonesia, Departemen Pertanian-Universitas Jember.

Kartini Kartono, 1983, Pathologi Sosial, Rajawali, Jakarta.

Kauffman, James M, 1989, Characteristics of Behaviour Disorders of Children and Youth, Merril Publishing Company, Colombus, London, Toronto.