Selasa, 08 Oktober 2013

Amerika Hutang 57.000 Ton Emas Kepada Indonesia



Harta Karun Emas Indonesia “The Green Hilton Memorial Agreement ” di Geneva.

“The Green Hilton Memorial Agreement ” di Geneva pada 14 November 1963

Inilah perjanjian yang paling menggemparkan dunia. Inilah perjanjian yang menyebabkan terbunuhnya Presiden Amerika Serikat John Fitzgerald Kennedy (JFK) 22 November 1963. Inilah perjanjian yang kemudian menjadi pemicu dijatuhkannya Bung Karno dari kursi kepresidenan oleh jaringan CIA yang menggunakan ambisi Soeharto. Dan inilah perjanjian yang hingga kini tetap menjadi misteri terbesar dalam sejarah ummat manusia.

Perjanjian “The Green Hilton Memorial Agreement” di Geneva (Swiss) pada 14 November 1963

Dan, inilah perjanjian yang sering membuat sibuk setiap siapapun yang menjadi Presiden RI. Dan, inilah perjanjian yang membuat sebagian orang tergila-gila menebar uang untuk mendapatkan secuil dari harta ini yang kemudian dikenal sebagai “salah satu” harta Amanah Rakyat dan Bangsa Indonesia. Inilah perjanjian yang oleh masyarakat dunia sebagai Harta Abadi Ummat Manusia. Inilah kemudian yang menjadi sasaran kerja tim rahasia Soeharto menyiksa Soebandrio dkk agar buka mulut. Inilah perjanjian yang membuat Megawati ketika menjadi Presiden RI menagih janji ke Swiss tetapi tidak bisa juga. Padahal Megawati sudah menyampaikan bahwa ia adalah Presiden RI dan ia adalah Putri Bung Karno. Tetapi tetap tidak bisa. Inilah kemudian membuat SBY kemudian membentuk tim rahasia untuk melacak harta ini yang kemudian juga tetap mandul. Semua pihak repot dibuat oleh perjnajian ini.

Perjanjian itu bernama “Green Hilton Memorial Agreement Geneva”. Akta termahal di dunia ini diteken oleh John F Kennedy selaku Presiden AS, Ir Soekarno selaku Presiden RI dan William Vouker yang mewakili Swiss. Perjanjian segitiga ini dilakukan di Hotel Hilton Geneva pada 14 November 1963 sebagai kelanjutan dari MOU yang dilakukan tahun 1961. Intinya adalah, Pemerintahan AS mengakui keberadaan emas batangan senilai lebih dari 57 ribu ton emas murni yang terdiri dari 17 paket emas dan pihak Indonesia menerima batangan emas itu menjadi kolateral bagi dunia keuangan AS yang operasionalisasinya dilakukan oleh Pemerintahan Swiss melalui United Bank of Switzerland (UBS).

Pada dokumen lain yang tidak dipublikasi disebutkan, atas penggunaan kolateral tersebut AS harus membayar fee sebesar 2,5% setahun kepada Indonesia. Hanya saja, ketakutan akan muncul pemimpinan yang korup di Indonesia, maka pembayaran fee tersebut tidak bersifat terbuka. Artinya hak kewenangan pencairan fee tersebut tidak berada pada Presiden RI siapa pun, tetapi ada pada sistem perbankkan yang sudah dibuat sedemikian rupa, sehingga pencairannya bukan hal mudah, termasuk bagi Presiden AS sendiri.

Account khusus ini dibuat untuk menampung aset tersebut yang hingga kini tidak ada yang tahu keberadaannya kecuali John F Kennedy dan Soekarno sendiri. Sayangnya sebelum Soekarno mangkat, ia belum sempat memberikan mandat pencairannya kepada siapa pun di tanah air. Malah jika ada yang mengaku bahwa dialah yang dipercaya Bung Karno untuk mencairkan harta, maka dijamin orang tersebut bohong, kecuali ada tanda-tanda khusus berupa dokumen penting yang tidak tahu siapa yang menyimpan hingga kini.

Menurut sebuah sumber di Vatikan, ketika Presiden AS menyampaikan niat tersebut kepada Vatikan, Paus sempat bertanya apakah Indonesia telah menyetujuinya. Kabarnya, AS hanya memanfaatkan fakta MOU antara negara G-20 di Inggris dimana Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ikut menanda tangani suatu kesepakatan untuk memberikan otoritas kepada keuangan dunia IMF dan World Bank untuk mencari sumber pendanaan alternatif. Konon kabarnya, Vatikan berpesan agar Indonesia diberi bantuan. Mungkin bantuan IMF sebesar USD 2,7 milyar dalam fasilitas SDR (Special Drawing Rights) kepada Indonesia pertengahan tahun lalu merupakan realisasi dari kesepakatan ini, sehingga ada isyu yang berkembang bahwa bantuan tersebut tidak perlu dikembalikan. Oleh Bank Indonesia memang bantuan IMF sebesar itu dipergunakan untuk memperkuat cadangan devisa negara.

Kalau benar itu, maka betapa nistanya rakyat Indonesia. Kalau benar itu terjadi betapa bodohnya Pemerintahan kita dalam masalah ini. Kalau ini benar terjadi betapa tak berdayanya bangsa ini, hanya kebagian USD 2,7 milyar. Padahal harta tersebut berharga ribuan trilyun dollar Amerika. Aset itu bukan aset gratis peninggalan sejarah, aset tersebut merupakan hasil kerja keras nenek moyang kita di era masa keemasan kerajaan di Indonesia.

Asal Mula Perjanjian “Green Hilton Memorial Agreement”

Setelah masa perang dunia berakhir, negara-negara timur dan barat yang terlibat perang mulai membangun kembali infrastrukturnya. Akan tetapi, dampak yang telah diberikan oleh perang tersebut bukan secara materi saja tetapi juga secara psikologis luar biasa besarnya. Pergolakan sosial dan keagamaan terjadi dimana-mana. Orang-orang ketakutan perang ini akan terjadi lagi. Pemerintah negara-negara barat yang banyak terlibat pada perang dunia berusaha menenangkan rakyatnya, dengan mengatakan bahwa rakyat akan segera memasuki era industri dan teknologi yang lebih baik. Para bankir Yahudi mengetahui bahwa negara-negara timur di Asia masih banyak menyimpan cadangan emas. Emas tersebut akan di jadikan sebagai kolateral untuk mencetak uang yang lebih banyak yang akan digunakan untuk mengembangkan industri serta menguasai teknologi. Karena teknologi Informasi sedang menanti di zaman akan datang.

Sesepuh Mason yang bekerja di Federal Reserve (Bank Sentral di Amerika) bersama bankir-bankir dari Bank of International Settlements / BIS (Pusat Bank Sentral dari seluruh Bank Sentral di Dunia) mengunjungi Indonesia. Melalui pertemuan dengan Presiden Soekarno, mereka mengatakan bahwa atas nama kemanusiaan dan pencegahan terjadinya kembali perang dunia yang baru saja terjadi dan menghancurkan semua negara yang terlibat, setiap negara harus mencapai kesepakatan untuk mendayagunakan kolateral Emas yang dimiliki oleh setiap negara untuk program-program kemanusiaan. Dan semua negara menyetujui hal tersebut, termasuk Indonesia. Akhirnya terjadilah kesepakatan bahwa emas-emas milik negara-negara timur (Asia) akan diserahkan kepada Federal Reserve untuk dikelola dalam program-program kemanusiaan. Sebagai pertukarannya, negara-negara Asia tersebut menerima Obligasi dan Sertifikat Emas sebagai tanda kepemilikan. Beberapa negara yang terlibat diantaranya Indonesia, Cina dan Philippina. Pada masa itu, pengaruh Soekarno sebagai pemimpin dunia timur sangat besar, hingga Amerika merasa khawatir ketika Soekarno begitu dekat dengan Moskow dan Beijing yang notabene adalah musuh Amerika.

Namun beberapa tahun kemudian, Soekarno mulai menyadari bahwa kesepakatan antara negara-negara timur dengan barat (Bankir-Bankir Yahudi dan lembaga keuangan dunia) tidak di jalankan sebagaimana mestinya. Soekarno mencium persekongkolan busuk yang dilakukan para Bankir Yahudi tersebut yang merupakan bagian dari Freemasonry. Tidak ada program-program kemanusiaan yang dijalankan mengunakan kolateral tersebut. Soekarno protes keras dan segera menyadari negara-negara timur telah di tipu oleh Bankir International. Akhirnya Pada tahun 1963, Soekarno membatalkan perjanjian dengan para Bankir Yahudi tersebut dan mengalihkan hak kelola emas-emas tersebut kepada Presiden Amerika Serikat John F.Kennedy (JFK). Ketika itu Amerika sedang terjerat utang besar-besaran setelah terlibat dalam perang dunia. Presiden JFK menginginkan negara mencetak uang tanpa utang. Karena kekuasaan dan tanggung jawab Federal Reserve bukan pada pemerintah Amerika melainkan di kuasai oleh swasta yang notabene nya bankir Yahudi. Jadi apabila pemerintah Amerika ingin mencetak uang, maka pemerintah harus meminjam kepada para bankir yahudi tersebut dengan bunga yang tinggi sebagai kolateral. Pemerintah Amerika kemudian melobi Presiden Soekarno agar emas-emas yang tadinya dijadikan kolateral oleh bankir Yahudi di alihkan ke Amerika. Presiden Kennedy bersedia meyakinkan Soekarno untuk membayar bunga 2,5% per tahun dari nilai emas yang digunakan dan mulai berlaku 2 tahun setelah perjanjian ditandatangani. Setelah dilakukan MOU sebagai tanda persetujuan, maka dibentuklah Green Hilton Memorial Agreement di Jenewa (Swiss) yang ditandatangani Soekarno dan John F.Kennedy. Melalui perjanjian itu pemerintah Amerika mengakui Emas batangan milik bangsa Indonesia sebesar lebih dari 57.000 ton dalam kemasan 17 Paket emas

Melalui perjanjian ini Soekarno sebagai pemegang mandat terpercaya akan melakukan reposisi terhadap kolateral emas tersebut, kemudian digunakan ke dalam sistem perbankan untuk menciptakan Fractional Reserve Banking terhadap dolar Amerika. Perjanjian ini difasilitasi oleh Threepartheid Gold Commision dan melalui perjanjian ini pula kekuasaan terhadap emas tersebut berpindah tangan ke pemerintah Amerika.

Dari kesepakatan tersebut, dikeluarkanlah Executive Order bernomor 11110, di tandatangani oleh Presiden JFK yang memberi kuasa penuh kepada Departemen Keuangan untuk mengambil alih hak menerbitkan mata uang dari Federal Reserve. Apa yang pernah di lakukan oleh Franklin, Lincoln, dan beberapa presiden lainnya, agar Amerika terlepas dari belenggu sistem kredit bankir Yahudi juga diterapkan oleh presiden JFK. salah satu kuasa yang diberikan kepada Departemen keuangan adalah menerbitkan sertifikat uang perak atas koin perak sehingga pemerintah bisa menerbitkan dolar tanpa utang lagi kepada Bank Sentral (Federal Reserve)
Tidak lama berselang setelah penandatanganan Green Hilton Memorial Agreement tersebut, presiden Kennedy di tembak mati oleh Lee Harvey Oswald. Setelah kematian Kennedy, tangan-tangan gelap bankir Yahudi memindahkan kolateral emas tersebut ke International Collateral Combined Accounts for Global Debt Facility di bawah pengawasan OITC (The Office of International Treasury Control) yang semuanya dikuasai oleh bankir Yahudi. Perjanjian itu juga tidak pernah efektif, hingga saat Soekarno ditumbangkan oleh gerakan Orde baru yang didalangi oleh CIA yang kemudian mengangkat Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Sampai pada saat Soekarno jatuh sakit dan tidak lagi mengurus aset-aset tersebut hingga meninggal dunia. Satu-satunya warisan yang ditinggalkan, yang berkaitan dengan Green Hilton Memorial Agreement tersebut adalah sebuah buku bersandi yang menyembunyikan ratusan akun dan sub-akun yang digunakan untuk menyimpan emas, yang terproteksi oleh sistem rahasia di Federal Reserve bernama The Black screen. Buku itu disebut Buku Maklumat atau The Book of codes. Buku tersebut banyak di buru oleh kalangan Lembaga Keuangan Dunia, Para sesepuh Mason, para petinggi politik Amerika dan Inteligen serta yang lainnya. Keberadaan buku tersebut mengancam eksistensi Lembaga keuangan barat yang berjaya selama ini.

Sampai hari ini, tidak satu rupiah pun dari bunga dan nilai pokok aset tersebut dibayarkan pada rakyat Indonesia melalui pemerintah, sesuai perjanjian yang disepakati antara JFK dan Presiden Soekarno melalui Green Hilton Agreement. Padahal mereka telah menggunakan emas milik Indonesia sebagai kolateral dalam mencetak setiap dollar.

Hal yang sama terjadi pada bangsa China dan Philipina. Karena itulah pada awal tahun 2000-an China mulai menggugat di pengadilan Distrik New York. Gugatan yang bernilai triliunan dollar Amerika Serikat ini telah mengguncang lembaga-lembaga keuangan di Amerika dan Eropa. Namun gugatan tersebut sudah lebih dari satu dasawarsa dan belum menunjukkan hasilnya. Memang gugatan tersebut tidaklah mudah, dibutuhkan kesabaran yang tinggi, karena bukan saja berhadapan dengan negara besar seperti Amerika, tetapi juga berhadapan dengan kepentingan Yahudi bahkan kabarnya ada kepentingan dengan Vatikan. Akankah Pemerintah Indonesia mengikuti langkah pemerintah Cina yang menggugat atas hak-hak emas rakyat Indonesia yang bernilai Ribuan Trilyun Dollar…(bisa untuk membayar utang Indonesia dan membuat negri ini makmur dan sejahtera)

Sumber : www.beritalima.com/

Senin, 17 Juni 2013

PERNYATAAN SIKAP POLITIK PRESIDIUM GMNI

Pernyataan Politik Presidium GMNI tentang Kenaikan Harga BBM 2013 Oleh Presiden Sby-Boediono



Pemerintah yang kembali mewacanakan akan menaikan harga BBM justru menunjukan gagalnya pemerintahan SBY-Boediono dalam melakukan manajemen energy nasional dan peningkatan produksi minyak nasional untuk menyeimbangkan kebutuhan minyak domestik. Ironisnya kelemahan pemerintah dalam mengurus defisit energy nasional yang saat ini mencapai 40% kemudian harus dibebankan kepada rakyat untuk menanggungnya dengan dalih penyesuaian harga minyak Dunia dan penyesuaian postur APBN.

Bila melihat perkembangan harga minyak Dunia hari yang berada di angka $ 107,4/barel justru menunjukkan trend menurun dari pergerakan harga minyak Dunia per Februari 2013 yang berkisar di angka $ 115/barel. Beberapa ekonom Dunia juga memprediksi bahwa harga minyak Dunia memiliki kemungkinan terus menurun seiring dengan semakin lemahnya penjualan ritel AS dan penurunan produksi industri di Eropa.

Terlepas dari fluktuatifnya perkembangan harga minyak dipasaran Dunia, seharusnya pemerintah Indonesia melakukan langkah-langkah konstruktif dalam melakukan manajemen energy nasional secara terpadu. Melakukan optimalisasi produksi minyak nasional, menemukan sumber-sumber minyak baru dan meningkatkan produksi GAS sebagai sumber energi pengganti minyak. Pemerintah juga harus memastikan perusahaan-perusahaan minyak asing yang beroperasi di Indonesia untuk melakukan optimalisasi produksi serta melakukan kaji ulang terhadap kontrak-kontrak perusahaan minyak asing. Pada tataran ini, pemerintah harus berani menutup operasi perusahaan asing yang sudah habis kontrak kerjanya dan menyerahkan kepada Pertamina untuk menjamin ketersediaan produksi minyak nasional.

Menyeimbangkan postur APBN, pembengkakan subsidi, pengalihan penggunaan anggaran adalah Logika-logika usang yang paradoks sebagai bentuk rasionalisasi manipulatif pemerintah terhadap rakyatnya. “dominno effect” kenaikan harga BBM akan semakin memperparah kondisi ekonomi rakyat yang tergerus daya belinya sebagai dampak kenaikan harga-harga komoditas di pasaran dan meningkatnya jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai konsekwensi efisiensi produksi yang secara otomatis akan mempertinggi angka kemiskinan. (kemiskinan diukur dengan kemampuan memenuhi 2000 kalori per hari, data BPS menunjukkan 30jt Rakyat Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan).

Kami mengkritik dan menilai pemerintahan SBY-Boediono yang hanya menggunakan pendekatan praktis pragmatis dalam setiap kebijakan energi tanpa mencari sebab permasalahan secara “radik”. Menaikan harga BBM semakin mempertegas bahwa pemerintah hanya menjalankan agenda liberalisme yang akan menggelar pertemuan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) di Bali pada bulan Oktober 2013 dan pertemuan World Trade Organization (WTO) pada bulan Desember 2013.

Agenda liberalisme untuk memperkuat trade facilitation, yaitu kebijakan untuk memberikan berbagai fasilitas perdagangan seperti penghapusan bea masuk dan hambatan impor lainnya serta memperkuat konektifitas dan suply chain perusahaan global yang melakukan impor dengan menghilangkan berbagai faktor yang dianggap mendistorsi pasar khususnya subsidilah yang menjadi alasan utama pemerintah mewacanakan kenaikan harga BBM.

Presidium GMNI menilai argumentasi-argumentasi yang disampaikan pemerintah tidak cukup berdasar sebagai berikut:

1. Pemerintah menyatakan bila harga BBM tidak dinaikkan akan mengakibatkan defisit APBN sampai 3% atau lebih. Menurut kami, alasan tersebut kurang pas. Karena kalaupun terjadi defisit APBN, ada solusi yang lebih baik untuk rakyat dan negara yakni meningkatkan ratio kepatuhan wajib pajak (WP). Berdasarkan data Ditjen Pajak Tahun 2012, Ratio Kepatuhan WP pribadi sebesar 44 % yakni 8,8 jt orang dari 20 jt WP yg terdaftar dan Ratio Kepatuhan WP badan usaha sebesar 27,36 % yakni 520rb dr 1,9 jt badan usaha yg terdaftar sbg WP. Tahun 21012 penerimaan negara dari sektor pajak sebesar 976 Triliun. 68,8 % dari APBN 2012 sebesar 1.418,5 Triliun. Jika pemerintah benar-benar serius mengatasi defisit APBN maka pemerintah seharusnya meningkatkan ratio kepatuhan Wajib Pajak (WP). Bila hal tersebut dilakukan apalagi mencapai 100 % maka APBN kita pasti surplus karena Penerimaan negara akan meningkat secara signifikan. Dengan demikian alasan pemerintah untuk menaikkan harga BBM karena besarnya subsidi BBM dpt mengakibatkan defisit APBN sebesar 3% atau lebih menjadi tidak rasional.

 2. Pemerintah juga menjadikan tingginya konsumsi BBBM sebagai alasan menaikkan harga BBM. Salah satu penyebab tingginya konsumsi BBM adalah tidak terkendalinya jumlah kendaraan bermotor di Indonesia. Hal tersebutlah yang menjadi masalah pokoknya. Utk mengendalikan jumlah konsumsi BBM kendaraan bermotor, maka pemerintah seharusnya mengendalikan dan membatasi jumlah kendaraan bermotor Indonesia.  Bukan dengan menaikkan harga BBM.

 3. Alasan Subsidi yg tidak tepat sasaran jg menjadi alasan pemerintah menaikkan harga BBM. Kita semua mengetahui bahwa konstitusi kita, UUD 1945 Pasal 33 menjamin adanya subsidi. Subsidi merupakan kewajiban negara utk rakyat. Bila pemerintah menyatakan subsidi tdk tepat sasaran, maka pemerintah seharusnya memperbaiki kinerja dalam pengawasan distribusi BBM. Jangan sampai karena kelalaian sendiri, pemerintah akhirnya mengambil jalan pintas menaikkan BBM.

 4. Terjadi ketidakefisienan dlm pengelolaan energi. Pengelolaan energi kita dikuasai mayoritas oleh asing pertamina hanya produksi 13,8 % dari total produksi minyak Indonesia, selebihnya diproduksi oleh perusahaan asing, yakni Chevron, Exxon Mobile, Total E&P Indonesia, Chonoco Philips dan CNOOC. Ketidakberdaulatan Indonesia di bidang energi  akhirnya menyandera kita.

5. Pemerintah jg belum membangun kilang-kilang minyak baru yang spesifikasinya sesuai dengan crude oil lifting Indonesia. Sehingga kita menjual minyak mentah kita dan melakukan impor BBM. Bahkan, macetnya pembangunan depo-depo BBM Pertamina sejak 1998 hingga sekarang menyebabkan Indonesia tidak punya stok BBM yang memadai. Stok hanya cukup untuk konsumsi 18-22 hari.

 6. Rencana kenaikan harga BBM terindikasi merupakan tekanan asing. Seperti kita ketahui harga premium Rp 4.500 bukanlah harga kompetitif bagi SPBU-SPBU asing. Sehingga perusahaan asing yang telah mengantongi izin buka SPBU di seluruh Indonesia masih menunggu.

 7. Jika terjadi kenaikan harga BBM maka akan terjadi migrasi dari premium ke pertamax. Bila itu terjadi, Pertamina tidak mampu memenuhi kuota pertamax. Inilah yang akan jadi peluang bagi SPBU-SPBU asing.

 8. Rencana kenaikan harga BBM tersebut merupakan upaya pemerintah untuk menyerahkan harga BBM ke pasar. Padahal. Mahkamah Konstitusi telah membatalkan pasal 28 ayat 2 UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas yang menyerahkan harga BBM kepada mekanisme pasar.

 9. Rencana kenaikan harga BBM  sebenarnya  tindak lanjut dari persetujuan pemerintah terhadap keputusan pertemuan puncak negara-negara APEC di Hawai pada November 2011 yakni penghapusan secara bertahab subsidi harga BBM. Pertemuan APEC berikutnya akan berlangsung Oktober mendatang di Bali.

Dengan demikian, kami berpandangan bahwa pemerintah tidak cukup punya argumentasi menaikkan harga BBM. Untuk itu, Presidium GMNI secara tegas menolak kenaikan harga BBM. 

Berangkat dari pemahaman tersebut, PRESIDIUM GMNI menginstruksikan kepada seluruh Cabang-cabang GMNI dan KORDA GMNI se-Indonesia untuk menggelar aksi secara serentak di wilayahnya masing-masing pada tanggal 25 April 2013 dengan menyampaikan sikap politik sebagai berikut:

1. Presidium GMNI MENOLAK kenaikan harga BBM dan mendesak Pemerintahan SBY-Boediono MEMBATALKAN rencana menaikan harga BBM tahun 2013
2.  Mendesak pemerintah melakukan KAJI ULANG kontrak Minyak dan Gas (MIGAS) dari perusahaan asing yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak di Indonesia
3. Mendesak Pemerintah untuk melakukan penguatan manajemen energi nasional dan meningkatkan produksi minyak domestik sehingga tidak menimbulkan kesenjangan yang tinggi antara kebutuhan dan pasokan minyak domestik.
4.   Mendesak pemerintan membangun kilang-kilang minyak baru yang spesifikasinya sesuai dengan crude oil lifting Indonesia.
5.  TURUNKAN SBY-BOEDIONO Jika menempuh kebijakan pragmatis menaikan harga BBM di tahun 2013

Demikian instruksi ini kami sampaikan, untuk dilaksanakan sebagai bentuk pengawalan GMNI terhadap nasib kaum MARHAEN INDONESIA.

Jakarta,  Senin 10 Juni 2013
Hormat kami,

P R E S I D I U M
GERAKAN MAHASISWA NASIONAL INDONESIA
( G M N I )


TWEDY NOVIADY                         Bintar Lulus Pradipta
      Ketua                                  Sekretaris Jenderal

Minggu, 31 Maret 2013

Waspadai Ancaman Asing di Perbatasan Indonesia!

Isyarat Karen Brooks, bahwa Arab Spring (Musim Semi Arab) yang melanda Tunisia, Mesir dan lain-lain sesungguhnya belajar dari aksi massa di Indonesia dekade Mei 1998-an (gerakan reformasi) yang mengakibatkan tumbang rezim Orde Baru dari tampuk kekuasaannya. Kajian Brooks di atas, selain sangat informatif juga mutlak dicermati terkait perkembangan situasi kini dan kedepan. Dengan kata lain, apakah “dalang” dan “pemilik hajatan” dari maraknya gerakan massa sekarang ini di beberapa negara juga ada link up dan satu komando? Inilah asumsi yang perlu bangunan.

 
Contoh lain, mengapa operasi Central Intellegence Agency (CIA), Amerika Serikat (AS) tatkala menggusur Salvador Allende di Chilie (1973) bersandi "Operasi Jakarta"? Apakah sekedar tiruan pola, atau modusnya identik ketika CIA menggusur Bung Karno dekade 1965-an tempo hari? Niscaya ada link up atas kedua peristiwa tersebut kendati secara fisik terpisahkan oleh ruang dan waktu. Buku “Tangan-Tangan Amerika, Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia” karya Hendrajit dkk sekurang-kurangnya mengurai teka-teki itu. Silahkan disimak sendiri. Retorika nakal pun timbul: jangan-jangan dinamika politik yang kian memanas di Bumi Pertiwi sekarang hendak disamakan pula dengan tata pola Arab Spring di Jalur Sutera?
 
Teringat statement  Alan Weinstein (1991), salah satu pendiri National Endowment for Democracy (NED): “banyak dari apa yang kita (NED) kerjakan, secara diam-diam dilakukan 25 tahun lalu oleh CIA” . Retorika lagi: bukankah Musim Semi Arab, yakni aksi-aksi massa non kekerasan di Jalur Sutera merupakan hasil kerja NED melalui salah satu anak organisasi yang bertitel Central Applied Non Violence Action and Stategic (CANVAS); apakah gerakan NED identik dengan operasi CIA?
 
Pertanyaan dan beberapa retorika di atas hanya prolog artikel sederhana ini, jadi tidak harus dijawab secara jelas namun sekedar menggiring kerangka asumsi bahwa tidak ada peristiwa (politik) apapun serta dimanapun, terjadi secara kebetulan. Semua pasti ada proses bahkan by design secara konseptual.
 
Menyikapi geliat politik glamour namun tak bermakna apa-apa bagi kepentingan nasional RI menjelang 2014, diyakini banyak kekuatan luar (asing) turut meremot baik secara langsung maupun tak langsung terhadap dinamika politik di negeri kaya sumberdaya alam (SDA) seperti Indonesia. Konflik lokal adalah bagian dari konflik global. Asumsi jitu, kiranya tak bisa dipungkiri. Politik praktis bukanlah yang tersurat melainkan apa yang tersirat. Ini juga sering terbukti, dan seterusnya.
 
Pendudukan tentara Kesultanan Sulu di Sabah sebagai misal, bukanlah faktor tunggal berbasis romantisme masa lalu sebagaimana rumor selama ini, bahwa Sultan Sulu ingin Sabah kembali menjadi bagian wilayahnya --- itu hanya dalih yang membonceng dalam isue sengketa perbatasan yang kini bersemi di sekeliling Laut Cina. Akan tetapi penyerbuan Sulu (diduga) atas “undangan” Anwar Ibrahim, sosok oposisi Malaysia yang melayani hegemoni Barat serta terkait Pemilu 2013 di Negeri Jiran. Kenapa demikian, selain Anwar diinstal (dirancang) Wall Street menjadi Head of Malaysia, juga diprakirakan ---merujuk pola dan model kolonialisasi--- bahwa muara atau ujung daripada serbuan pasukan Sulu ke Sabah diduga keras adalah kontrak ulang serta re-negoisasi atas konsesi minyak dan gas di Sabah yang dimonopoli oleh Petronas, “Pertamina”-nya Negeri Jiran. Ingat teori Deep Stoat: “If you would understand world geopolitic today, follow the oil”. Ya, jika ingin memahami geopolitik dunia hari ini, ikuti aliran minyak.  
 
Geopolitik Sabah memang menggiurkan. Free Malaysia Today memberitakan, tahun 2011 ia memiliki cadangan minyak 1,5 miliar barrel, sedangkan cadangan gas alam tercatat 11 triliun kubik. Telah diketemukan beberapa sumber minyak dan gas (migas) baru di Sabah diramalkan kian menambah tinggi cadangan migas Malaysia. Kekayaan SDA-nya dikelola Petronas, perusahaan minyak yang berdiri tahun 1974 dan dimiliki oleh pemerintah federal. Dalam sebuah perjanjian yang ditanda tangani tahun 1975, ia menerima royalti sebesar 5% dari nilai kotor produksi minyak. Di tahun 2011 saja, Petronas meraup keuntungan atas penjualan minyak Sabah senilai RM 15 miliar atau sekitar Rp 47 triliun. Luar biasa!
 
Lain Deep Stoat, beda pula Global Future Institute (GFI), lembaga kajian masalah-masalah internasional, Jakarta pimpinan Hendrajit awal 2013 membangun asumsi (teori yang dianggap benar) setelah menyimak, mencermati, mengkaji dan menimbang berbagai konflik di banyak belahan dunia, yakni:
“bahwa mapping konflik dari kolonialisasi yang dikembangkan Barat, hampir dipastikan segaris/satu route bahkan pararel dengan jalur-jalur SDA terutama bagi wilayah (negara) yang memiliki potensi besar atas minyak, emas dan gas alam”.
 
Asumsi GFI jelas tersirat makna, apakah konflik-konflik yang terjadi di “jalur basah” sengaja dibuat oleh para adidaya terkait kepentingan geopolitik selaras kajian Deep Stoat, memang tergantung seberapa tajam pisau dan sejauhmana analisa insight (menyelam) dalam rangka mencermati konflik di permukaan. Lihatlah ethnic cleansing di Rohingya, atau konflik antar suku di Lampung Selatan, cermati konflik aliran dalam agama di Sampang, Madura, dll kenapa dipicu oleh modus-modus sama yaitu pelecehan seksual serta berujung relokasi penduduk (‘terusir’) yang hidup di atasnya. Sejauh ini, adakah kajian menyelam hingga bawah permukaan? Lagi - lagi pertanyaan ini harus dikubur dalam-dalam.
 
Dalam diskusi terbatas (22/3/2013) di Forum KENARI (Kepentingan Nasional RI) yang dimentori Dirgo D Purbo, pakar geopolitik dan dosen di berbagai perguruan tinggi Indonesia, terkuak pointers bahwa Sabah – Philipina -- Kalimantan Utara (Kaltara) disebut Hot Triangel dan diplot sebagai daerah yang memiliki potensi minyak dan gas alam 'seabrek-abrek' (banyak sekali). Dan tampaknya Ambalat masuk pada plot tersebut. Layak diwaspadai dikemudian hari adalah, selain ancaman Malaysia terhadap Ambalat semata-mata karena what lies beneath the surface (apa yang terkandung di bawah permukaan) pulau dimaksud, juga adanya hipotesa bahwa pemekaran Kaltara ialah langkah permulaan dari modus kolonialisasi memindah konflik Moro, atau konflik Sabah ke Kaltara. Siapa dulu mengawali konflik di Moro? Malaysia pun mengakhiri.
 
Ingat pola kolonialisme baik asimetris (non militer) maupun simetris (militer) yang sering dimainkan oleh Barat. Urut-urutannya, pasca ditebar isue aktual bakal timbul tema, baru setelah itu skema kolonial muncul belakangan. Dan lazimnya skema kolonialisasi dimanapun ujungnya adalah: "penguasaan pilar ekonomi dan pencaplokan SDA". Perang Irak (2003) misalnya, setelah ditebar isue senjata pemusnah massal, dilanjut dengan tema “invasi militer” oleh Paman Sam dan sekutu, sedang skema yang terlihat adalah kapling-kapling SDA oleh negara yang terlibat invasi militer ke Negeri 1001 Malam. Ini pola simetris. Sedangkan model asimetris biasanya lebih soft lagi halus. Misal disebar dahulu isue flu burung di sebuah wilayah (negara), maka tema yang akan dimunculkan daging mahal atau daging langka, kemudian skema yang ditancapkan ialah jerat impor bagi negara target.
 
Contoh paling populer barangkali Arab Spring di Jalur Sutera. Tatkala Wikileaks dulu sukses menyebar isue terkait kemiskinan, korupsi, pemimpin tirani, dan lainnya maka tema yang diangkat adalah gerakan massa non kekerasan menentang rezim berkuasa, sedang skemanya adalah tata ulang elit dimana aksi massa mampu membuat lengser Ben Ali di Tunisia, Abdullah di Yaman dan Mobarak di Mesir. Pola inilah yang menurut Brooks, meniru gerakan reformasi di Indonesia dekade Mei 1998.   
 
Konteks dinaikkan sebentar untuk mengantar topik. Ya, bahwa adanya “arus kecil” atau semacam isue bertitel sengketa perbatasan yang kini berserak di Laut Cina Selatan, bukanlah faktor tunggal yang tiba-tiba, namun semata-mata karena dorongan “arus besar” yang berupa geopolitical shift atau pergeseran geopolitik global dari Jalur Sutera (Timur Tengah, Asia Tengah dan Afrika Utara) berpindah ke Laut Cina Selatan pada umumnya dan Asia Tenggara khususnya. GFI mengendus bahwa “arus besar” itu berupa:
 
1. Selain AS tengah berproses membangun sistem pertahanan rudal di Asia guna melawan manuver Korea Utara dan Cina tentunya, ia juga menyatakan memperluas militernya di Asia Tenggara dan Samudera Hindia, termasuk peningkatan kerja sama dengan Australia dan penempatan kapal-kapal perang di Singapura, Philipina dll. Dan sungguh mengejutkan ialah pergeseran 60% armada tempurnya ke Asia Pasifik;
 
2. Paman Sam mendukung pembentukan ASEAN Security Community pada 2015, dan terkait dengan isue Laut China Selatan, dan melalui Menhan Leon Panetta, menganjurkan agar ASEAN melakukan “tindakan seragam” sekaligus menyusun kerangka aksi yang memiliki kekuatan hukum;
 
3. Kompleksitas pertikaian wilayah di Laut China Selatan, disinyalir bukan sebatas klaim kepemilikan pulau-pulau, melainkan ada “persoalan lain”, artinya selain diantaranya hak berdaulat atas Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), penggunaan teknologi baru terkait exploitasi dan explorasi minyak dan gas bumi oleh negara tertentu, yang utama sejatinya faktor geostrategy possition dan potensi SDA pulau-pulau yang disengketakan;
 
4. Ketegangan antara negara-negara di kawasan tersebut secara politis cenderung meningkat karena miskinnya win-win solution. Urgensi geografis Laut China Selatan yang cukup vital dalam pergeseran geopolitik global, memungkinkan terus terkendalanya upaya penyelesaian sengketa, bahkan diduga keras bahwa isu konflik teritorial itu akan menjadi trigger dalam benturan militer secara terbuka, dan lain-lain.
 
Sekilas telah diulas di atas, bahwa pola kolonialisme dimanapun, senantiasa menempatkan isue-isue sebagai langkah awal memasuki daerah sasaran, baru kemudian disusul tema gerakan dan skema sebagai tujuan pokok. Ketika isue yang ditebar ialah sengketa perbatasan, maka boleh ditebak bahwa tema-tema yang bakal diangkat niscaya KONFLIK PERBATASAN, baik intrastate (konflik internal negeri) maupun bersifat interstate (antar negara) dan lainnya. Dalam konteks ini, penyerbuan Sulu ke Sabah merupakan pagelaran perdana di tahun 2013 dalam kerangka “tema” kolonialisme. Artinya silahkan tunggu kelanjutan SKEMA yang hendak dimainkan di Sabah: “Kontrak ulang konsesi minyak di Sabah, atau konflik interstate antara Malaysia versus Philipina?”.
 
Melihat perkembangan konstalasi politik baik tingkat nasional, regional dan global yang semakin memanas, maka terkait isue yang berkembang di kawasan hendaknya para elit politik, pengambil kebijakan dan segenap tumpah darah Indonesia mewaspadai isue-isue di perbatasan terutama wilayah “konflik” dan/atau “rawan konflik”, atau daerah-daerah yang belum selesai proses kebangsaannya pasca gejolak politik di masa lalu.
 
Skenario Papua pun sebenarnya bisa ditebak, artinya ketika isue yang ditebar ialah kemiskinan, atau pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh aparat, dll maka menjadi keniscayaan bahwa tema yang diangkat ialah: "Hadirnya pasukan asing ke Papua, atau referendum?". Tinggal pilih. Demikian pula Aceh pasca perjanjian Helsinki, kini mulai ditabur “isue bendera” yang tidak sesuai nafas kebangsaan. Tengok nanti temanya apa. Demikian juga Kaltara, Ambalat, dll yang masuk lingkup Hot Triangel karena potensi minyak yang luar biasa, mutlak harus diwaspadai.
 
Pada akhirnya, bangsa ini membutuhkan bukan sekedar political will tetapi political action dalam rangka melakukan kontra isue maupun kontra tema secara konseptual baik simetris maupun asimetris sejak kolonialisasi muncul di tataran hilir. Para elit dan pengambil kebijakan jangan malah larut dalam lingkaran isue dan tema yang dimainkan oleh pihak luar, sementara SKEMA kolonialisme yang berupa penguasaan ekonomi dan pencaplokan berbagai SDA oleh asing justru kian mengakar namun tidak ada gugatan sama sekali oleh anak segenap bangsa, karena elitnya sibuk di koridor (hilir) isue-isue dan tema.
 
Bangkitlah bangsaku!
Penulis : M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)
 
Link dan Bacaan:
 
1. Karen Brooks, Indonesia's Lessons for Egypt, 17 Februsari 2011, http://www.cfr.org/indonesia/indonesias-lessons-egypt/p24156,
 
2. Hendrajit dkk, Tangan-Tangan Amerika di Pelbagai Belahan Dunia, Operasi Siluman AS, 2010, Global Future Institute, Jakarta
 
3. Nuning Soedibjo, Resensi Buku, Tangan-Tangan Amerika: Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=3129&type=9#.UVPePa7Ku1g
 
4. M Arief Pranoto, Bedah Buku: Tangan-Tangan Amerika, Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=6528&type=9#.UVPrL67Ku1g
 
5. Tony Cartalucci, “Dirty Tricks” Covert Op? Armed Phillippines Based Islamists Land on Beaches of North Borneo Ahead of Malaysian Elections, http://www.globalresearch.ca/dirty-tricks-covert-op-armed-phillippine-based-islamists-land-on-beaches-of-north-borneo-ahead-of-malaysian-elections/5325114
 
6. Pola Kolonialisasi yang Layak Dicermati, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=11524&type=1#.UVZQTa7Ku1g
 
7. Kemana Konflik Sabah Berujung? Waspada Kaltara!, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=11499&type=4#.UVY1RK7Ku1g
 
8. National Endowment for Democracy, http://www.sourcewatch.org/index.php?title=National_Endowment for_Democracy
 
9. Pointer dalam Diskusi Terbatas di Forum KENARI (Kepentingan Nasional RI) pimpinan Dirgo D Purbo, 22/3/2013.
 
10. Mencermati Kesamaan Karakter Kolonialisme antara Pola Simetris dan Asimetris, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=10880&type=4#.UVd-ja7Ku1g
 
11. Pergeseran Sentral Geopolitik Internasional, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=11522&type=4#.UVd_-67Ku1g
 
12. The Global Review, The Journal of International Studies Quarterly, 2 Januari 2013, Merobek Jalur Sutera Menerkam Asia Tenggara, Global Future Institute, 2013.
 
13. Bila Sebatas Identitas Bendera, Lambang GAM di Aceh Sah Saja,  http://news.detik.com/read/2013/03/30/232831/2207435/10/bila-sebatas-identitas-bendera-lambang-gam-di-aceh-sah-saja