Senin, 04 Maret 2013

Kontra Skema Kapitalisme: Menuju Kemandirian Ekonomi Indonesia


“ .. dokumen MP3EI lebih mirip kumpulan analisis tentang penawaran terhadap barang mentah dan kekayaan alam indonesia kepada investor asing. Maka tak heran apabila Hatta Rajasa, Menko Perekonomian RI, sang “Arsitek Masterplan” memperoleh penghargaan di Amerika karena menelurkan gagasan yang dianggap brilian”
 
Prakata
Membaca geliat dan dinamika ekonomi baik pada tataran lokal, regional dan terutama di tingkatan global, mutlak bagi Indonesia untuk selalu siap, siap dan siap dalam menghadapi segala bentuk perubahan. Oleh karena perubahan adalah keniscayaan dan tak bisa dielakkan. Ia harus dihadapi bukan untuk dihindari. Bangsa yang tangguh adalah bangsa yang mampu “mengelola” perubahan kemudian diselaraskan dengan arah tujuan dan cita-cita bersama.

Secara geopolitik dan strategik, keberadaan Indonesia berada pada titik gravitasi bagi kebangkitan ekonomi dunia yakni Asia Timur, Asia Tenggara dan sekitarnya. Tak bisa dielak, konsekuensi yang timbul bagi bangsa ini ialah mempersiapkan diri seoptimal mungkin guna mempercepat terwujudnya suatu iklim yang memiliki ketahanan baik pangan, energi, ekonomi, politik dan lainnya serta mampu meningkatkan atmosphere kerja dan dinamika kondusif di berbagai kalangan terutama unsur pemerintahan agar hasil pembangunan dapat digunakan secara maksimal untuk kesejahteraan rakyat.

Tampaknya Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (baca: MP3EI) yang baru-baru ini diluncurkan oleh pemerintah adalah arah pembangunan ekonomi Indonesia hingga dekade 2025. Akan tetapi belum lama program ini bergulir, nada sumbang pun mulai terdengar kian-kemari. Adalah M Fadhil Hasan, salah seorang pengamat pertanahan mengatakan, bahwa secara historis atau konseptual MP3EI merupakan bentuk ketidakpuasan terhadap RPJPM yang dinilai cenderung normatif. Menurutnya MP3EI hanya memberikan ruang bagi pelaku ekonomi asing melalui instrumen liberalisasi perdagangan. Kemudian Arwin Lubis, Dewan Pengarah Sabang Merauke Circle (SMC) menilai rencana MP3EI merupakan kapitalisme semu. Ia merupakan perpaduan antara penguasa dan pengusaha. ”Selama MP3EI berjalan, kesenjangan juga makin melebar. Karena pendekatan MP3EI jelas dikatakan melalui Keppres dengan pendekatan lama yang memerlukan kolaborasi semua pihak, yakni pemerintah dan swasta untuk mencapai pertumbuhan,” (Kompas, 2012/02/16).
 
Bahkan lebih ekstrem lagi muncul anggapan, bahwa dokumen MP3EI lebih mirip kumpulan analisis tentang penawaran terhadap barang mentah dan kekayaan alam indonesia kepada investor asing. Maka tak heran apabila Hatta Rajasa, Menko Perekonomian RI, sang “Arsitek Masterplan” memperoleh penghargaan di Amerika karena menelurkan gagasan yang dianggap brilian. Pertanyaannya adalah, apa sesungguhnya pokok permasalahan bangsa in? Mana yang diprioritaskan: membangun infrastruktur, atau menggenjot satu sektor tertentu, atau memperbaiki BUMN sebagai lokomotif ekonomi? Tulisan sederhana ini, setidak-tidaknya mencoba mengurai benang merah melalui comparative study sebagai pisau bedahnya dengan sistem ekonomi Islam parsial sebagai salah satu solusi konsep kemandirian ekonomi negara.

Dalam Islam Modal Produksi Dimiliki Bersama
"kaum muslimin berserikat dan (kepemilikan bersama) adalah dalam tiga hal yaitu air, rerumputan (padang rumput yang tak bertuan) dan api (energi) “ HR. Ahmad dan Abu Daud”.

Agaknya para pendiri republik tercinta ini menyadari betapa pentingnya tiga elemen di atas dalam kehidupan manusia sehari-hari, sehingga ketika mereka merumuskan UUD 1945 tempo doeloe terdapat point yang selaras dengan hadits tersebut. Inilah pasalnya:

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 ayat 3, UUD 1945).

Hampir mirip dengan ekonomi sosialis, sistem ekonomi Islam pun menganut totalitas pengaturan sumber daya alam (SDA). Islam mewajibkan NEGARA sebagai penguasa SDA dan sekaligus pengelolanya dalam rangka menjamin kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Itulah yang seharusnya dikerjakan oleh negara cq pemerintah.

Dalam praktek timbul kerancuan-kerancuan baik tataran pemahaman terutama tahap implementasi atas penafsiran pasal 33 ayat 3 tersebut. Yang muncul kini seolah-olah negara telah menguasai SDA, tetapi porsinya sangat kecil. Negara dalam hal ini ialah BUMN hampir-hampir tidak mampu bersaing manakala berhadapan dengan Multi-National Corporations (MNCs) yakni para korporasi global milik asing yang mendapat porsi lebih besar dalam pengelolaan SDA di tanah air.

Yang terjadi kini, neoliberalisme memberi monopoli atas tanah, pertambangan dan energi. Ini berimbas langsung pada kurangnya pendapatan negara, bahkan untuk konsumsi rakyat pun tidak mampu dipenuhi. Betapa ironisnya, negara dengan garis pantai terpanjang di dunia tetapi mengimpor garam, atau negara dengan curah hujan tinggi namun mengimpor beras, kedelai dan lainnya. Negeri lingkaran sabuk api yang dipastikan kaya tambang dan mineral tapi karena ketidakmampuan pemerintah mengelolanya maka rakyat dikorbankan. Ya. Rakyat dipaksa membeli dengan harga tinggi untuk produk yang justru berasal dari tanah airnya sendiri. Pertanyaannya ialah, bagaimana pemerintah bisa memberikan manfaat dan kesejahteraan bagi rakyat sedang dalam pengelolaannya ia (salah urus) seperti ini?

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan bahwa seyogyanya arah pembangunan negeri ini lebih menitikberatkan pada pembentukan BUMN-BUMN baru di beberapa sektor, bukannya malah diprivatisasi seperti yang sudah-sudah terutama sektor-sektor stategis sesuai amanat pasal 33 ayat 3 UUD 1945. What lies beneath the surface. Apa yang terkandung di bawah permukaan!

BUMN VS MNCs
“Ketika Exxonmobil tahun  2011 berpendapatan $ 354,674  milyar US atau sekitar Rp 3263,00 trilyun, sementara rakyat Indonesia masih banyak di bawah garis kemiskinan
Prestasi pemerintah atas penerimaan negara tembus 1000 trilyun rupiah agar dikelola secara optimal demi kemanfaatan yang lebih besar bagi Indonesia di masa depan. Artinya rencana program harus lebih realistis dengan melihat kenyataan selama ini terutama penguasaan SDA oleh para MNCs milik asing. Itulah tantangan di depan mata.

Seyogyanya 10% atau lebih penerimaan negara tadi digunakan untuk hal-hal lebih produktif, misalnya pembentukan BUMN baru di beberapa sektor stategis terutama pangan, maritim, energi dan lainnya. Minimal kebutuhan dalam negeri bisa dipenuhi secara mandiri sebelum melakukan ekspor keluar.  Sebagai contoh sektor minyak dan gas (migas) perlu bahkan mutlak dibuat beberapa BUMN lagi guna mengambil alih penguasaan MNCs ketika saatnya selesai kontrak atau tatkala renegosiasi kontrak karya.

Atau jika ada program percepatan (MP3EI) maka ada realisasi menambah BUMN baru lagi dengan partner swasta dalam negeri. Jika alasan utama karena ketidakcukupan modal, percepatan di sektor migas. Perlu dibentuk join holding company, misalnya melalui kerjasama dengan pihak Pertamina, Humpuss, Bakrie, Medco dan lainnya.

Adanya beberapa BUMN baru niscaya bakal menambah kekuatan fundamental ekonomi riil. Dan seyogyanya terus dikembangkan senada dengan sektor-sektor strategis lain, seperti pertambangan, kelautan, pangan dan lainnya. Hal ini dirasakan sangat mendesak, mengingat 90% pengelolaan minyak dan gas (migas) di Indonesia dikuasai oleh MNCs atau perusahaan-perusahaan asing.

Betapa riskannya, ketika Exxonmobil salah satu MNCs yang masuk daftar 15 perusahaan dengan pendapatan terbesar versi CNN Money, pada tahun  2011 berpendapatan $ 354,674 milyar US atau sekitar Rp 3263,00 trilyun, sementara banyak rakyat Indonesia masih dalam kemiskinan. Paling tidak para MNCs menikmati 40% hasil dari migas Indonesia,  jika angka produksi yang mereka laporkan adalah benar. Kemudian untuk pertambangan emas, perak, tembaga dan sebagainya terlihat lebih parah lagi. Para MNCs dan perusahaan asing mendapat bagian 85% sedang pemilik kedaulatan negeri ini yakni rakyat Indonesia sejumlah 230 juta orang harus puas dengan 15%. Ironis!
 
Menurut PENA, setiap tahun perusahaan-perusahaan asing mendapat kekayaan alam dari Indonesia sebesar Rp 2.000 trilyun/tahun. Seandainya MNCs atau perusahaan-perusahaan asing tersebut memberi sekitar Rp 10-20 trilyun kepada para komprador (kaki tangannya) di Indonesia mereka tetap jauh lebih untung, untung dan untung. Bagaimana rakyat ini bisa makmur? Betapa bila nanti semua kekayaan alam di Indonesia telah dikelola sendiri oleh negara cq pemerintah, maka hutang yang menumpuk Rp 1.900 trilyun bisa dibayar hanya  dalam waktu setahun. Dan secara logika, APBN berikutnya dipastikan meningkat tiga kali lipat yang berasal dari hasil SDA asli Indonesia. Ya. Tanpa beban hutang sedikitpun!

Ayo, Nasionalisasi!
“Tatkala kekayaan alam suatu bangsa dikelola oleh pihak asing, maka alamat negara itu tidak bakalan maju dan tak akan mampu mensejahterakan rakyatnya, sebagai pemilik kedaulatan”
Cara lain yang bisa ditempuh adalah nasionalisasi setiap perusahaan asing di Indonesia. Misalnya Cuba sudah melakukan pada tahun 1960-an dulu, atau Venezuela, bahkan Arab Saudi sudah lebih dulu menasionalisasi perusahaan minyak Aramco era 1974-an dan  akhirnya meningkatkan pendapatan pemerintah secara besar-besaran sehingga bisa mendanai pembangunan ekonomi secara masif (Ensiklopedi MS Encarta).

Memang Arab Saudi kaya akan minyak, akan tapi bukakah Indonesia bukan cuma punya migas saja? Ya,  Indonesia memiliki emas, tembaga, perak, mineral langka, hutan, kebun, sawah, dan laut yang luasnya 5 juta km, atau lebih dari dua kali lipat luas Arab Saudi.

Tatkala kekayaan alam suatu bangsa dikelola oleh pihak asing, maka negara itu tidak bakalan maju dan tak akan mampu mensejahterakan rakyatnya. Lihatlah negara-negara yang maju seperti AS, Inggris, Perancis, Jerman, Cina, Rusia, Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Venezuela, Brazil dan sebagainya, mereka tidak mau menyerahkan kekayaan alamnya kepada pihak asing. Harusnya Pemimpin bangsa dan ekonom Indonesia berjuang agar Indonesia bisa mandiri dan mampu berdikari. Dibutuhkan good will dan political action untuk melakukan semua itu dari berbagai kalangan secara gegap gempita.

Revisi Pola dan Modus MP3EI
“Ubah pola yang salah ,  termasuk ketergantungan terhadap utang dan modal asing”
Segala nada miring dan suara sumbang atas MP3EI hendaknya dijadikan cambuk sekaligus revisi guna perbaikan pola tranformasi ekonomi Indonesia. Jangan timbul anggapan, bahwa susah-susah negara membangun kereta api batu bara di Kalimantan, ternyata pengelola tambangnya justru perusahaan asing semua. Pemerintah membangun kereta api cepat Jakarta - Banyuwangi hanya untuk mempermudah investor tambang emas dan explorasi Blok Cepu. Atau kita berencana membangun tol lintas Sumatra, jangan-jangan hanya untuk menguntungkan MNCs yang rencana mengeksplorasi migas di Aceh, emas di Medan dan lainnya.

Maka pemerintah harus lebih jeli atas pola yang hanya menitik beratkan pembangunan infrastruktur, tanpa menambah jumlah BUMN yang berproduksi pada tiap-tiap sektor strategis. Ubah pola yang salah , termasuk ketergantungan terhadap utang dan modal  asing sebagai penyertaan MP3EI dalam patnership nanti.
Demikian adanya, demikan sebaiknya.

Sumber:                                            
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=mp3ei&source=web&cd=1&ved=0CDIQFjAA&url=

http://money.cnn.com/magazines/fortune/global500/2011/full_list/index.html

http://mep.ugm.ac.id/index.php/8-news/69-kuliah-umum-sosialisasi-mp3ei

http://www.theglobal-review.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar