Jumat, 08 Maret 2013

SARINAH

Ditulis oleh: Anastasya wella (@DjenarMaesaAyu1)
Suatu saat saya sedang membereskan lemari, dan mata saya tertumbuk pada sebuah buku lusuh, yang berjudul SARINAH karangan Bung Karno. Buku tua itu pun saya baca, dan semakin jelas apa yang menjadi impian Bung Karno dala tulisan-tulisannya tentang wanita Indonesia.  Bung Karno adalah sosok yang jenial. Ia tidak hanya dikenal sebagai Proklamator Kemerdekaan Indonesia, namun ia juga adalah seorang oenulis buku dan artikel yang piawai.

Buku yang berisikan tentang kekaguman dan penghargaannya pada perjuangan wanita, sekaligus pengharapannya pada para wanita Indonesia. Secara tersirat buku ini membuka ruang tafsir terhadap posisi kaum perempuan Indonesia. Soekarno berupaya mengungkapkan makna kemerdekaan dan kesetaraan perempuan ‘ala’ Indonesia. Catat, ‘ala’ Indonesia, bukan ‘ala’ barat atau ‘ala’ Eropa. 
I. Arti Sarinah bagi Sukarno
 Jauh sebelum ada tabloid gosip, apalagi acara-acara infotainment, sudah ada pengetahuan publik yang sangat satu dimensi soal dinamika mantan Presiden RI, Bung Karno dengan para perempuan. Siapa pun tahu, sang proklamator itu dikenal sebagai sosok flamboyan yang ‘doyan’ wanita.  Melalui beberapa kali pernikahannya, bisa jadi mitos soal kecintaan Bung Karno akan perempuan  menjadi semakin terkonfirmasi.
Tapi, rupanya Bung Karno bukan tipikal ‘buaya darat’ yang sekedar mencintai tanpa mampu menghargai peran perempuan. Kemerdekaan Republik Indonesia baru menapaki tahun kedua ketika Sukarno mengguratkan pena menuliskan sebuah buku berjudul Sarinah-Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia.
Meski tidak semonumental karya tulis Sukarno yang lain, seperti Di Bawah Bendera Revolusi, buku Sarinah mampu mengungkap banyak hal yang merupakan pembelaan Sukarno atas posisi perempuan Indonesia, dalam konteks pentingnya para perempuan dilibatkan dalam proses pembangunan sebuah negara yang saat itu masih belia. Soal wanita adalah soal masyarakat! tulis Bung Karno di paragraf awal kata pengantar Sarinah.
Sarinah bukan sebutan yang biasa disebut2 " sarinah pergi kepasar…" ato perempuan yang sedang mendekap foto besar Bung Karno. Tapi, tulisan ini sungguh tentang Sarinah dan cinta sesama. Keduanya, mengalir dalam darah Sukarno. Ya, Sarinah memiliki arti penting bagi hidup Sukarno. Sebab, Sarinah-lah yang mengajarkan Sukarno untuk cinta kepada rakyat, sehingga rakyat pun akan mencintainya.

Sarinah adalah sosok perempuan paruh baya yang mengisi hidup Sukarno kecil. Ia menjadi bagian dari keluarga Sukarno. Ia tidak kawin. Ia tinggal, makan, dan bekerja di rumah keluarga Bung Karno. Sekalipun begitu, Sarinah tidak membayar, tidak pula mendapatkan upah. Sarinah adalah perempuan desa yang mengajari Sukarno mengenal cinta-kasih. Sarinah mengajari Sukarno untuk mencintai rakyat. Massa rakyat, rakyat jelata. Ajaran-ajaran itu bergulir

setiap pagi, bersamaan Sarinah memasak di gubuk kecil yang berfungsi sebagai dapur, di dekat rumah. Sukarno selalu duduk di samping Sarinah. Pada saat-saat seperti itulah Sarinah berpidato, “Karno, pertama engkau harus mencintai ibumu. Kemudian, kamu harus mencintai rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya.” Pidato itu yang dicekokkan Sarinah setiap pagi. Pidato Sarinah itulah yang mengisi otak dan hati Sukarno, sebelum sesuap makanan pun mengisi perutnya. Dalam biografi yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno hanya menyebutkan, bahwa saat masih kecil, ia sering tidur seranjang dengan Sarinah. “(Namun) ketika aku sudah mulai besar, Sarinah sudah tidak ada lagi.” (roso daras)

Jadi, Sarinah adalah nama perempuan desa yang menjadi pengasuhnya ketika Bung Karno masih kanak- kanak. Konon, Sarinah yang mengajari Bung Karno untuk mencintai rakyat. “Karno, pertama engkau harus mencintai ibumu. Kemudian, kamu harus mencintai rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya.” kata Sarinah seperti dikutip dalam buku karya Cindy Adams. Hal ini memang ditekankan Bung Karno, karena menurutnya, dari aspek budaya dan sejarah, ada sejumlah perbedaan yang tak bisa begitu saja dihilangkan. Terutama dalam memaknai gerakan feminisme pada masa itu. Bung Karno menentang keras pergerakan feminisme Eropa yang menurutnya, “Mau menyamaratakan saja perempuan dengan laki-laki”. Ia lebih mendukung gagasan Ki Hadjar Dewantara yang mengingatkan agar bangsa Indonesia tidak tergesa-gesa meniru cara moderen atau cara Eropa, meski jangan pula terikat oleh paham konservatif, melainkan “Mencocokkan segala hal sesuai dengan kodratnya”. Bagi Bung Karno, berbicara tentang kesetaraan perempuan maka bicara kesetaraan dalam segala aspek, namun juga tidak berarti sekaligus menyamaratakan perempuan begitu saja dengan laki-laki.

Kegelisahan Bung Karno dalam soal ini sungguh kuat. Bung Karno didalam bukunya Sarinah antara lain mengatakan: tuntutan persamaan hak semata-mata, nyata masih meninggalkan satu soal yang belum selesai: bagaimanakah menghilangkan pertentangan antara pekerjaan masyarakat dan panggilan jiwa sebagai isteri dan ibu? Bagaimanakah menghilangkan “scheur, die door haar wezen gaat”? Dikatakan oleh Bung Karno: sebagian besar daripada pekerjaan-pekerjaan rumahtangga itu kita angkatkan dari lingkungan keluarga, dan kita masukkan ke dalam tanggungannya Kolektiviteit!

Yang dimaksud adalah: berangsur-angsur mengoper fungsi-fungsi keluarga kepada masyarakat, seperti koperasi, tempat penitipan anak, dsb. Inilah sebenarnya yang diperjuangkan oleh kaum perempuan: kebahagiaan yang mencapai puncaknya dalam masyarakat berkesejahteraan social Namun apapun yang tertulis dalam bukunya itu, maka jelas apa yang menjadi pandangan Bung Karno tentang wanita Indonesia. Tanpa perlu diutarakan, maka apa yang diimpikan oleh Bung Karno sebagian telah terwujud, dan sebagian lagi Kebablasan saat ini.....Terserah apa yang menjadi komentar anda, apakah menjadi wanita Indonesia itu adalah seperti Sarinah atau seperti wonder woman.

Mutiara di Dalam Kotak
Dari mana keresahan soal peran perempuan ini muncul dalam benak sang proklamator? Alkisah, Bung Karno kerap bertamu ke rumah penduduk tanpa ‘woro-woro‘ (pemberitahuan). Seringkali hanya tuan rumah lah yang menerima kunjungan Sukarno, sementara nyonya rumah tak ikut mendampingi. Kalau toh ditanya soal ini, tuan rumah kerap berdalih, ..sayang seribu sayang, ia kebetulan tidak ada di rumah. Menengok bibinya yang sedang sakit (h.7).
Kejadian serupa itu dialami Bung Karno beberapa kali, hingga suatu saat ia menangkap bayangan seorang perempuan dari balik tabir yang tergantung di pintu pemilik rumah. Sejak saat itu, benak sang proklamator dihantui ketakutan, ..bilakah semua Sarinah-Sarinah mendapat kemerdekaan? Meski kemudian ia mempertanyakan kembali pertanyaannya itu, ..tetapi, kemerdekaan yang bagaimana? Kemerdekaan a la Kartini? Kemerdekaan a la Chalidah Hanum? Kemerdekaan a la Kollontay? (h.9).
Sampai di sini para pembaca mungkin bertanya, dari mana sang proklamator punya pemahaman soal beragam ‘versi’ kemerdekaan perempuan? Di bagian-bagian berikutnya,  Sarinah memaparkan wawasan Sukarno yang teramat luas dan mendalam sebagai bahan argumen tingkat ‘tinggi’ dalam meyakinkan perlunya peran perempuan dalam ‘perjuangan’ (yang belakangan hari dibahasakan sebagai ‘pembangunan’) negara.
Tanpa ragu Sukarno memberikan ilustrasi adanya perlakuan kurang manusiawi pada para perempuan yang dilakukan dengan sadar atau tanpa sadar oleh para lelaki yang berada di lingkungan terdekat para perempuan itu sendiri. Sebut saja, teman Bung Karno di Bengkulu yang berprofesi sebagai guru namun tak mengizinkan sang istri keluar rumah dengan alasan ia menghargai istrinya itu bak sebutir mutiara. Tetapi justru sebagaimana orang menyimpan mutiara di dalam kotak, demikian pula mereka menyimpan istrinya itu di dalam kurungan.. (h.9).
Sukarno membagi keresahannya sendiri soal pencarian definisi yang pas untuk memerdekakan perempuan Indonesia. Disebutnya pemikiran Henriette Roland Holst yang menguraikan dilema perempuan saat harus memilih peran sebagai ibu atau sebagai pekerja. Bung Karno juga lantang menentang pergerakan feminisme Eropa yang menurutnya, mau menyamaratakan saja perempuan dengan laki-laki (h.11).  Ia pun mendukung gagasan Ki Hadjar Dewantara yang mengingatkan agar bangsa Indonesia tidak tergesa-gesa meniru cara moderen atau cara Eropa, meski jangan pula terikat oleh rasa konservatif, melainkan mencocokkan segala hal sesuai dengan kodratnya (h.11-12).
Tak lupa, Sukarno juga mengajak pembacanya meninjau posisi perempuan menurut ajaran agama Islam. Saya beragama Islam, saya cinta Islam, tetapi saya bukan ahli fiqih. Bolehlah saya katakan di sini, di dalam masyarakat Islam pun masih ada soal perempuan. Kesan yang saya dapat, sama dengan kesan Frances Woodsmall sesudah beliau mempelajari posisi perempuan di dalam Islam, yakni, soal perempuan adalah justru bagian yang “most debated” (h.14).
Menutup argumennya di bagian awal Sarinah, Bung Karno menegaskan pokok bahasan yang ia kemukakan adalah soal posisi perempuan secara keseluruhan di dalam masyarakat, supaya posisi perempuan di dalam Republik Indonesia bisa ditempatkan sesempurna mungkin.

Kritikan Terhadap Beragam Pemikiran ‘Impor’
Sebagaimana para pemikir di fase awal kemerdekaan Indonesia, Bung Karno tidak berniat mengajak pembacanya untuk mengadopsi atau menelan mentah-mentah konsep-konsep ‘impor’ dari manapun. Termasuk soal posisi perempuan.
Dikisahkannya pada tahun 1849, ketika Elisabeth Blackwell meraih gelar ‘doktor’, terjadi keributan yang dipicu oleh para lelaki Amerika yang mengaku “cinta kemerdekaan”, semata-mata karena menganggap perempuan tak layak menjadi tabib. Amerika, seolah meniadakan peran perempuan yang menurut Sukarno ikut punya andil dalam membangkitkan rasa kemanusiaan, seperti yang pernah dibuktikan oleh Harriet Beecher Stowe melalui bukunya, Uncle’s Tom Cabin.
Belum kelar meledek AS, Bung Karno menyebut soal terbentuknya Dewan Wanita Nasional di tahun 1888 di Amerika. Yang kemudian disusul oleh negara-negara lain sehingga mempunya 50 cabang di berbagai negara. Namun badan itu lebih mengutamakan persaudaraan internasional, sehingga organisasi filantropispun bisa bergabung. Contoh lain yang lebih radikal, lebih militan dan lebih politis adalah Alliance for Women Sufferage and Equal Citizenship, yang pertama kali berkongres di Berlin pada tahun 1904. Bung Karno mengkritik Alliance yang menurutnya hanya menuntut hak persamaan dalam pekerjaan dan pemilihan umum, namun melewatkan soal ketidak-adilan sosial, yaitu soal nasib perempuan miskin (h.191).
Sukarno mengungkapkan bagi perempuan jelata, pergerakan feminisme itu tidak memuaskan karena tidak memberi solusi. Mereka, wanita rakyat jelata itu mencari kemerdekaan, bukan saja kemerdekaan politik, tetapi juga ekonomi (h.193). Jangan heran kalau Bung Karno mengerti mengapa perempuan jelata menolak pergerakan feminis. Intinya, Bung Karno berargumen, di tahap awal, perjuangan perempuan hanya berkepentingan mencari persamaan hak saja dengan kaum lelaki, dan perjuangan perempuan pun jadinya ‘sekedar’ melawan laki-laki. Cara itu, menurut Sukarno, tidak mempertimbangkan susunan masyarakat, maupun membandingkan strata sosial di dalam masyarakat, apalagi mengejar keadilan sosial.

Ikutlah-serta-mutlak!
Menjelang akhir dari Sarinah, terungkaplah pemikiran Bung Karno pada saat ia menuliskan buku ini: keinginannya agar revolusi segera berakhir. Karena baru setelah revolusi tuntas negara bisa dibangun. Dan agar revolusi segera kelar, semua golongan-termasuk perempuan, haruslah dapat bersatu.
Revolusi  bangsa bukan revolusinya suatu kelas! Alangkah seringnya perkataan ‘bangsa’ dipermainkan! Seringkali ia dipergunakan sebagai kedok untuk menutupi kepentingan suatu golongan atau suatu kelas (h.285).
Apa impian yang ingin diraih Sukarno? Berulang-kali ia menyebut ‘kesejahteraan sosial’. Tentunya yang terakhir ini yang kerap ‘dipelesetkan’ rezim penguasa sesudahnya sebagai ‘bukti’ sang proklamator itu cenderung pro-sosialisme dan kekiri-kirian. Namun, kalau kita kembali mencoba mendalami pemikirannya melalui Sarinah, sebetulnya apa yang diperdebatkannya adalah masalah kesetaraan manusia, penolakan terhadap penindasan, penolakan terhadap perilaku eksklusif, dan warisan terbesarnya yang membuat kita masih ‘punya muka’ sampai hari ini yaitu kemerdekaan untuk berpikir. Karena ia percaya, bangsa Indonesia sanggup berpikir sendiri.
Gaya penulisan dari sudut pandang orang pertama yang digunakan Sukarno saat menulis Sarinah mengungkapkan dimensi utuh dari sosok ‘ikonik’ itu. Tak pernah ragu ia bersikap, mendebat, mempertanyakan ulang, memaparkan dengan beragam argumen,  tentunya dengan dukungan sejumlah data  juga referensi yang luar biasa kaya. Sesekali ia mengutip paragraf dalam bahasa Belanda atau Inggris bahkan Perancis dan mendampingi teks yang dikutipnya itu dengan terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Satu hal yang perlu dicatat, kejelasan perumusan setiap kalimat yang digunakan Sukarno cukup ampuh untuk ‘mempermalukan’ pejabat, akademisi, atau siapapun yang merasa ‘pintar’ hari ini namun tak sanggup menulis atau menggunakan bahasanya sendiri dengan layak. Tak ada kata atau kalimat ‘bersayap’ yang berpanjang-panjang tanpa makna, tak ada penyikapan yang tak tersampaikan dengan jelas kepada pembaca. Sang proklamator rupanya juga seorang ‘provokator’ yang menempatkan lawan bicaranya dalam posisi ‘harus siap ikut berpikir’, dan bukan hanya ‘menelan’. Hilangnya kapasitas ‘berdialog’ dengan publik ini mungkin tak luput dari kecanggihan metode komunikasi a la Orde Baru yang serba satu arah.
Pada  paragraf akhir dari Sarinah, Sukarno lantang berseru, Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah-serta-mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan nanti jika Republik telah selamat, ikutlah-serta-mutlak dalam usaha menyusun Negara Nasional. Di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi wanita yang bahagia, wanita yang Merdeka! (h.329)
Pilihan penempatan posisi perempuan di dalam konteks negara pun menjadikan buku ini menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Mengingat sampai hari ini kerap masih sering kita temui pejuang hak perempuan ‘salah kaprah’ yang sedikit-sedikit mempertanyakan ‘perspektif jender’ tanpa melihat konteks, sehingga terkesan asal menuding atau asal memusuhi laki-laki.  Di sisi lain, kita juga wajib prihatin bila mencermati kondisi saat ini di mana  terlihat adanya sejumlah ‘langkah mundur’ dalam memposisikan perempuan Indonesia dengan diberlakukannya sejumlah rambu yang jelas membatasi ruang gerak perempuan yang intinya menuding perempuan sebagai ancaman pelanggaran ‘moral’. Rasanya sulit dipercaya pembatasan-pembatasan terhadap perempuan justru terjadi puluhan tahun setelah negara ini merdeka, padahal di tahun kedua kemerdekaan RI buku Sarinah sudah ada.
Akhir kata, kenapa judul buku yang sangat bertenaga ini harus “Sarinah” dan bukan “Fatmawati”, “Hartini”, atau “Ratna Sari Dewi”? Sukarno memaparkan di bagian awal, Sarinah adalah nama pengasuhnya ketika ia masih anak-anak. Dari Sarinah lah Bung Karno memperoleh pelajaran yang menurutnya paling berharga yaitu mencintai “orang kecil”. Menurut sang proklamator, Sarinah sendiri adalah “orang kecil” dengan budi yang selalu besar.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar