Ditulis oleh: Anastasya wella (@DjenarMaesaAyu1)
Suatu saat saya
sedang membereskan lemari, dan mata saya tertumbuk pada sebuah buku lusuh, yang
berjudul SARINAH karangan Bung Karno. Buku tua itu pun saya baca, dan semakin
jelas apa yang menjadi impian Bung Karno dala tulisan-tulisannya tentang wanita
Indonesia. Bung Karno adalah sosok yang
jenial. Ia tidak hanya dikenal sebagai Proklamator Kemerdekaan Indonesia, namun
ia juga adalah seorang oenulis buku dan artikel yang piawai.
Buku yang berisikan tentang
kekaguman dan penghargaannya pada perjuangan wanita, sekaligus pengharapannya
pada para wanita Indonesia. Secara tersirat buku ini membuka ruang tafsir
terhadap posisi kaum perempuan Indonesia. Soekarno berupaya mengungkapkan makna
kemerdekaan dan kesetaraan perempuan ‘ala’ Indonesia. Catat, ‘ala’ Indonesia,
bukan ‘ala’ barat atau ‘ala’ Eropa.
I. Arti Sarinah bagi
Sukarno
Jauh sebelum ada
tabloid gosip, apalagi acara-acara infotainment, sudah ada pengetahuan publik
yang sangat satu dimensi soal dinamika mantan Presiden RI, Bung Karno dengan
para perempuan. Siapa pun tahu, sang proklamator itu dikenal sebagai sosok
flamboyan yang ‘doyan’ wanita. Melalui beberapa kali pernikahannya, bisa
jadi mitos soal kecintaan Bung Karno akan perempuan menjadi semakin
terkonfirmasi.
Tapi, rupanya Bung
Karno bukan tipikal ‘buaya darat’ yang sekedar mencintai tanpa mampu menghargai
peran perempuan. Kemerdekaan Republik Indonesia baru menapaki tahun kedua
ketika Sukarno mengguratkan pena menuliskan sebuah buku berjudul Sarinah-Kewajiban
Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia.
Meski tidak
semonumental karya tulis Sukarno yang lain, seperti Di Bawah Bendera
Revolusi, buku Sarinah mampu mengungkap banyak hal yang merupakan
pembelaan Sukarno atas posisi perempuan Indonesia, dalam konteks pentingnya
para perempuan dilibatkan dalam proses pembangunan sebuah negara yang saat itu
masih belia. Soal wanita adalah soal masyarakat! tulis Bung Karno di
paragraf awal kata pengantar Sarinah.
Sarinah bukan
sebutan yang biasa disebut2 " sarinah pergi kepasar…" ato perempuan
yang sedang mendekap foto besar Bung Karno. Tapi, tulisan ini sungguh tentang
Sarinah dan cinta sesama. Keduanya, mengalir dalam darah Sukarno. Ya, Sarinah
memiliki arti penting bagi hidup Sukarno. Sebab, Sarinah-lah yang mengajarkan
Sukarno untuk cinta kepada rakyat, sehingga rakyat pun akan mencintainya.
Sarinah adalah
sosok perempuan paruh baya yang mengisi hidup Sukarno kecil. Ia menjadi bagian
dari keluarga Sukarno. Ia tidak kawin. Ia tinggal, makan, dan bekerja di rumah
keluarga Bung Karno. Sekalipun begitu, Sarinah tidak membayar, tidak pula
mendapatkan upah. Sarinah adalah perempuan desa yang mengajari Sukarno mengenal
cinta-kasih. Sarinah mengajari Sukarno untuk mencintai rakyat. Massa rakyat,
rakyat jelata. Ajaran-ajaran itu bergulir
setiap pagi,
bersamaan Sarinah memasak di gubuk kecil yang berfungsi sebagai dapur, di dekat
rumah. Sukarno selalu duduk di samping Sarinah. Pada saat-saat seperti itulah
Sarinah berpidato, “Karno, pertama engkau harus mencintai ibumu. Kemudian, kamu
harus mencintai rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya.” Pidato
itu yang dicekokkan Sarinah setiap pagi. Pidato Sarinah itulah yang mengisi
otak dan hati Sukarno, sebelum sesuap makanan pun mengisi perutnya. Dalam
biografi yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno hanya menyebutkan, bahwa saat
masih kecil, ia sering tidur seranjang dengan Sarinah. “(Namun) ketika aku
sudah mulai besar, Sarinah sudah tidak ada lagi.” (roso daras)
Jadi, Sarinah
adalah nama perempuan desa yang menjadi pengasuhnya ketika Bung Karno masih
kanak- kanak. Konon, Sarinah yang mengajari Bung Karno untuk mencintai rakyat.
“Karno, pertama engkau harus mencintai ibumu. Kemudian, kamu harus mencintai
rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya.” kata Sarinah seperti
dikutip dalam buku karya Cindy Adams. Hal ini memang ditekankan Bung Karno,
karena menurutnya, dari aspek budaya dan sejarah, ada sejumlah perbedaan yang
tak bisa begitu saja dihilangkan. Terutama dalam memaknai gerakan feminisme
pada masa itu. Bung Karno menentang keras pergerakan feminisme Eropa yang
menurutnya, “Mau menyamaratakan saja perempuan dengan laki-laki”. Ia lebih
mendukung gagasan Ki Hadjar Dewantara yang mengingatkan agar bangsa Indonesia
tidak tergesa-gesa meniru cara moderen atau cara Eropa, meski jangan pula
terikat oleh paham konservatif, melainkan “Mencocokkan segala hal sesuai dengan
kodratnya”. Bagi Bung Karno, berbicara tentang kesetaraan perempuan maka bicara
kesetaraan dalam segala aspek, namun juga tidak berarti sekaligus
menyamaratakan perempuan begitu saja dengan laki-laki.
Kegelisahan Bung
Karno dalam soal ini sungguh kuat. Bung Karno didalam bukunya Sarinah antara
lain mengatakan: tuntutan persamaan hak semata-mata, nyata masih meninggalkan
satu soal yang belum selesai: bagaimanakah menghilangkan pertentangan antara
pekerjaan masyarakat dan panggilan jiwa sebagai isteri dan ibu? Bagaimanakah
menghilangkan “scheur, die door haar wezen gaat”? Dikatakan oleh Bung Karno:
sebagian besar daripada pekerjaan-pekerjaan rumahtangga itu kita angkatkan dari
lingkungan keluarga, dan kita masukkan ke dalam tanggungannya Kolektiviteit!
Yang
dimaksud adalah: berangsur-angsur mengoper
fungsi-fungsi keluarga kepada masyarakat, seperti koperasi, tempat penitipan
anak, dsb. Inilah sebenarnya yang diperjuangkan oleh kaum perempuan:
kebahagiaan yang mencapai puncaknya dalam masyarakat berkesejahteraan social Namun
apapun yang tertulis dalam bukunya itu, maka jelas apa yang menjadi pandangan
Bung Karno tentang wanita Indonesia. Tanpa perlu diutarakan, maka apa yang
diimpikan oleh Bung Karno sebagian telah terwujud, dan sebagian lagi Kebablasan
saat ini.....Terserah apa yang menjadi komentar anda, apakah menjadi wanita
Indonesia itu adalah seperti Sarinah atau seperti wonder woman.
Mutiara di Dalam Kotak
Dari
mana keresahan soal peran perempuan ini muncul dalam benak sang proklamator?
Alkisah, Bung Karno kerap bertamu ke rumah penduduk tanpa ‘woro-woro‘
(pemberitahuan). Seringkali hanya tuan rumah lah yang menerima kunjungan
Sukarno, sementara nyonya rumah tak ikut mendampingi. Kalau toh ditanya soal
ini, tuan rumah kerap berdalih, ..sayang seribu sayang, ia kebetulan tidak
ada di rumah. Menengok bibinya yang sedang sakit (h.7).
Kejadian
serupa itu dialami Bung Karno beberapa kali, hingga suatu saat ia menangkap
bayangan seorang perempuan dari balik tabir yang tergantung di pintu pemilik
rumah. Sejak saat itu, benak sang proklamator dihantui ketakutan, ..bilakah
semua Sarinah-Sarinah mendapat kemerdekaan? Meski kemudian ia
mempertanyakan kembali pertanyaannya itu, ..tetapi, kemerdekaan yang
bagaimana? Kemerdekaan a la Kartini? Kemerdekaan a la Chalidah Hanum?
Kemerdekaan a la Kollontay? (h.9).
Sampai
di sini para pembaca mungkin bertanya, dari mana sang proklamator punya
pemahaman soal beragam ‘versi’ kemerdekaan perempuan? Di bagian-bagian
berikutnya, Sarinah memaparkan wawasan Sukarno yang teramat luas
dan mendalam sebagai bahan argumen tingkat ‘tinggi’ dalam meyakinkan perlunya peran
perempuan dalam ‘perjuangan’ (yang belakangan hari dibahasakan sebagai
‘pembangunan’) negara.
Tanpa
ragu Sukarno memberikan ilustrasi adanya perlakuan kurang manusiawi pada para
perempuan yang dilakukan dengan sadar atau tanpa sadar oleh para lelaki yang
berada di lingkungan terdekat para perempuan itu sendiri. Sebut saja, teman
Bung Karno di Bengkulu yang berprofesi sebagai guru namun tak mengizinkan sang
istri keluar rumah dengan alasan ia menghargai istrinya itu bak sebutir
mutiara. Tetapi justru sebagaimana orang menyimpan mutiara di dalam kotak,
demikian pula mereka menyimpan istrinya itu di dalam kurungan.. (h.9).
Sukarno
membagi keresahannya sendiri soal pencarian definisi yang pas untuk
memerdekakan perempuan Indonesia. Disebutnya pemikiran Henriette Roland Holst
yang menguraikan dilema perempuan saat harus memilih peran sebagai ibu atau
sebagai pekerja. Bung Karno juga lantang menentang pergerakan feminisme Eropa
yang menurutnya, mau menyamaratakan saja perempuan dengan laki-laki
(h.11). Ia pun mendukung gagasan Ki Hadjar Dewantara yang mengingatkan
agar bangsa Indonesia tidak tergesa-gesa meniru cara moderen atau cara Eropa,
meski jangan pula terikat oleh rasa konservatif, melainkan mencocokkan
segala hal sesuai dengan kodratnya (h.11-12).
Tak
lupa, Sukarno juga mengajak pembacanya meninjau posisi perempuan menurut ajaran
agama Islam. Saya beragama Islam, saya cinta Islam, tetapi saya bukan ahli
fiqih. Bolehlah saya katakan di sini, di dalam masyarakat Islam pun masih ada
soal perempuan. Kesan yang saya dapat, sama dengan kesan Frances Woodsmall
sesudah beliau mempelajari posisi perempuan di dalam Islam, yakni, soal
perempuan adalah justru bagian yang “most debated” (h.14).
Menutup
argumennya di bagian awal Sarinah, Bung Karno menegaskan pokok bahasan
yang ia kemukakan adalah soal posisi perempuan secara keseluruhan di dalam
masyarakat, supaya posisi perempuan di dalam Republik Indonesia bisa
ditempatkan sesempurna mungkin.
Kritikan Terhadap
Beragam Pemikiran ‘Impor’
Sebagaimana
para pemikir di fase awal kemerdekaan Indonesia, Bung Karno tidak berniat
mengajak pembacanya untuk mengadopsi atau menelan mentah-mentah konsep-konsep
‘impor’ dari manapun. Termasuk soal posisi perempuan.
Dikisahkannya
pada tahun 1849, ketika Elisabeth Blackwell meraih gelar ‘doktor’, terjadi
keributan yang dipicu oleh para lelaki Amerika yang mengaku “cinta
kemerdekaan”, semata-mata karena menganggap perempuan tak layak menjadi tabib.
Amerika, seolah meniadakan peran perempuan yang menurut Sukarno ikut punya
andil dalam membangkitkan rasa kemanusiaan, seperti yang pernah dibuktikan oleh
Harriet Beecher Stowe melalui bukunya, Uncle’s Tom Cabin.
Belum
kelar meledek AS, Bung Karno menyebut soal terbentuknya Dewan Wanita Nasional
di tahun 1888 di Amerika. Yang kemudian disusul oleh negara-negara lain
sehingga mempunya 50 cabang di berbagai negara. Namun badan itu lebih
mengutamakan persaudaraan internasional, sehingga organisasi filantropispun
bisa bergabung. Contoh lain yang lebih radikal, lebih militan dan lebih politis
adalah Alliance for Women Sufferage and Equal Citizenship, yang pertama
kali berkongres di Berlin pada tahun 1904. Bung Karno mengkritik Alliance
yang menurutnya hanya menuntut hak persamaan dalam pekerjaan dan pemilihan
umum, namun melewatkan soal ketidak-adilan sosial, yaitu soal nasib perempuan
miskin (h.191).
Sukarno
mengungkapkan bagi perempuan jelata, pergerakan feminisme itu tidak memuaskan
karena tidak memberi solusi. Mereka, wanita rakyat jelata itu mencari
kemerdekaan, bukan saja kemerdekaan politik, tetapi juga ekonomi (h.193).
Jangan heran kalau Bung Karno mengerti mengapa perempuan jelata menolak
pergerakan feminis. Intinya, Bung Karno berargumen, di tahap awal, perjuangan
perempuan hanya berkepentingan mencari persamaan hak saja dengan kaum lelaki,
dan perjuangan perempuan pun jadinya ‘sekedar’ melawan laki-laki. Cara itu,
menurut Sukarno, tidak mempertimbangkan susunan masyarakat, maupun
membandingkan strata sosial di dalam masyarakat, apalagi mengejar keadilan
sosial.
Ikutlah-serta-mutlak!
Menjelang
akhir dari Sarinah, terungkaplah pemikiran Bung Karno pada saat ia menuliskan
buku ini: keinginannya agar revolusi segera berakhir. Karena baru setelah
revolusi tuntas negara bisa dibangun. Dan agar revolusi segera kelar, semua
golongan-termasuk perempuan, haruslah dapat bersatu.
Revolusi
bangsa bukan revolusinya suatu kelas! Alangkah seringnya perkataan ‘bangsa’
dipermainkan! Seringkali ia dipergunakan sebagai kedok untuk menutupi
kepentingan suatu golongan atau suatu kelas
(h.285).
Apa
impian yang ingin diraih Sukarno? Berulang-kali ia menyebut ‘kesejahteraan
sosial’. Tentunya yang terakhir ini yang kerap ‘dipelesetkan’ rezim penguasa
sesudahnya sebagai ‘bukti’ sang proklamator itu cenderung pro-sosialisme dan
kekiri-kirian. Namun, kalau kita kembali mencoba mendalami pemikirannya melalui
Sarinah, sebetulnya apa yang diperdebatkannya adalah masalah kesetaraan
manusia, penolakan terhadap penindasan, penolakan terhadap perilaku eksklusif,
dan warisan terbesarnya yang membuat kita masih ‘punya muka’ sampai hari ini
yaitu kemerdekaan untuk berpikir. Karena ia percaya, bangsa Indonesia sanggup
berpikir sendiri.
Gaya
penulisan dari sudut pandang orang pertama yang digunakan Sukarno saat menulis Sarinah
mengungkapkan dimensi utuh dari sosok ‘ikonik’ itu. Tak pernah ragu ia
bersikap, mendebat, mempertanyakan ulang, memaparkan dengan beragam
argumen, tentunya dengan dukungan sejumlah data juga referensi yang
luar biasa kaya. Sesekali ia mengutip paragraf dalam bahasa Belanda atau
Inggris bahkan Perancis dan mendampingi teks yang dikutipnya itu dengan
terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Satu hal yang perlu dicatat, kejelasan
perumusan setiap kalimat yang digunakan Sukarno cukup ampuh untuk
‘mempermalukan’ pejabat, akademisi, atau siapapun yang merasa ‘pintar’ hari ini
namun tak sanggup menulis atau menggunakan bahasanya sendiri dengan layak. Tak
ada kata atau kalimat ‘bersayap’ yang berpanjang-panjang tanpa makna, tak ada
penyikapan yang tak tersampaikan dengan jelas kepada pembaca. Sang proklamator
rupanya juga seorang ‘provokator’ yang menempatkan lawan bicaranya dalam posisi
‘harus siap ikut berpikir’, dan bukan hanya ‘menelan’. Hilangnya kapasitas
‘berdialog’ dengan publik ini mungkin tak luput dari kecanggihan metode
komunikasi a la Orde Baru yang serba satu arah.
Pada
paragraf akhir dari Sarinah, Sukarno lantang berseru, Wanita
Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah-serta-mutlak dalam usaha
menyelamatkan Republik, dan nanti jika Republik telah selamat,
ikutlah-serta-mutlak dalam usaha menyusun Negara Nasional. Di dalam masyarakat
keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi wanita
yang bahagia, wanita yang Merdeka! (h.329)
Pilihan
penempatan posisi perempuan di dalam konteks negara pun menjadikan buku ini
menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Mengingat sampai hari ini kerap masih
sering kita temui pejuang hak perempuan ‘salah kaprah’ yang sedikit-sedikit
mempertanyakan ‘perspektif jender’ tanpa melihat konteks, sehingga terkesan
asal menuding atau asal memusuhi laki-laki. Di sisi lain, kita juga wajib
prihatin bila mencermati kondisi saat ini di mana terlihat adanya
sejumlah ‘langkah mundur’ dalam memposisikan perempuan Indonesia dengan
diberlakukannya sejumlah rambu yang jelas membatasi ruang gerak perempuan yang
intinya menuding perempuan sebagai ancaman pelanggaran ‘moral’. Rasanya sulit
dipercaya pembatasan-pembatasan terhadap perempuan justru terjadi puluhan tahun
setelah negara ini merdeka, padahal di tahun kedua kemerdekaan RI buku Sarinah
sudah ada.
Akhir kata,
kenapa judul buku yang sangat bertenaga ini harus “Sarinah” dan bukan
“Fatmawati”, “Hartini”, atau “Ratna Sari Dewi”? Sukarno memaparkan di bagian
awal, Sarinah adalah nama pengasuhnya ketika ia masih anak-anak. Dari Sarinah
lah Bung Karno memperoleh pelajaran yang menurutnya paling berharga yaitu
mencintai “orang kecil”. Menurut sang proklamator, Sarinah sendiri adalah
“orang kecil” dengan budi yang selalu besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar