“
.. dokumen MP3EI lebih mirip kumpulan analisis tentang penawaran
terhadap barang mentah dan kekayaan alam indonesia kepada investor
asing. Maka tak heran apabila Hatta Rajasa, Menko Perekonomian RI, sang
“Arsitek Masterplan” memperoleh penghargaan di Amerika karena menelurkan
gagasan yang dianggap brilian”
Prakata
Membaca
geliat dan dinamika ekonomi baik pada tataran lokal, regional dan
terutama di tingkatan global, mutlak bagi Indonesia untuk selalu siap,
siap dan siap dalam menghadapi segala bentuk perubahan. Oleh karena
perubahan adalah keniscayaan dan tak bisa dielakkan. Ia harus dihadapi
bukan untuk dihindari. Bangsa yang tangguh adalah bangsa yang mampu
“mengelola” perubahan kemudian diselaraskan dengan arah tujuan dan
cita-cita bersama.
Secara
geopolitik dan strategik, keberadaan Indonesia berada pada titik
gravitasi bagi kebangkitan ekonomi dunia yakni Asia Timur, Asia Tenggara
dan sekitarnya. Tak bisa dielak, konsekuensi yang timbul bagi bangsa
ini ialah mempersiapkan diri seoptimal mungkin guna mempercepat
terwujudnya suatu iklim yang memiliki ketahanan baik pangan, energi,
ekonomi, politik dan lainnya serta mampu meningkatkan atmosphere kerja
dan dinamika kondusif di berbagai kalangan terutama unsur pemerintahan
agar hasil pembangunan dapat digunakan secara maksimal untuk
kesejahteraan rakyat.
Tampaknya
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(baca: MP3EI) yang baru-baru ini diluncurkan oleh pemerintah adalah arah
pembangunan ekonomi Indonesia hingga dekade 2025. Akan tetapi belum
lama program ini bergulir, nada sumbang pun mulai terdengar
kian-kemari. Adalah
M Fadhil Hasan, salah seorang pengamat pertanahan mengatakan, bahwa
secara historis atau konseptual MP3EI merupakan bentuk ketidakpuasan
terhadap RPJPM yang dinilai cenderung normatif. Menurutnya MP3EI hanya
memberikan ruang bagi pelaku ekonomi asing melalui instrumen
liberalisasi perdagangan. Kemudian
Arwin Lubis, Dewan Pengarah Sabang Merauke Circle (SMC) menilai rencana
MP3EI merupakan kapitalisme semu. Ia merupakan perpaduan antara
penguasa dan pengusaha. ”Selama MP3EI berjalan, kesenjangan juga makin
melebar. Karena pendekatan MP3EI jelas dikatakan melalui Keppres dengan
pendekatan lama yang memerlukan kolaborasi semua pihak, yakni pemerintah
dan swasta untuk mencapai pertumbuhan,” (Kompas, 2012/02/16).
Bahkan
lebih ekstrem lagi muncul anggapan, bahwa dokumen MP3EI lebih mirip
kumpulan analisis tentang penawaran terhadap barang mentah dan kekayaan
alam indonesia kepada investor asing. Maka tak heran apabila Hatta
Rajasa, Menko Perekonomian RI, sang “Arsitek Masterplan” memperoleh
penghargaan di Amerika karena menelurkan gagasan yang dianggap brilian.
Pertanyaannya adalah, apa sesungguhnya pokok permasalahan bangsa in?
Mana yang diprioritaskan: membangun infrastruktur, atau menggenjot satu
sektor tertentu, atau memperbaiki BUMN sebagai lokomotif ekonomi? Tulisan
sederhana ini, setidak-tidaknya mencoba mengurai benang merah melalui
comparative study sebagai pisau bedahnya dengan sistem ekonomi Islam
parsial sebagai salah satu solusi konsep kemandirian ekonomi negara.
Dalam Islam Modal Produksi Dimiliki Bersama
"kaum
muslimin berserikat dan (kepemilikan bersama) adalah dalam tiga hal
yaitu air, rerumputan (padang rumput yang tak bertuan) dan api (energi)
“ HR. Ahmad dan Abu Daud”.
Agaknya
para pendiri republik tercinta ini menyadari betapa pentingnya tiga
elemen di atas dalam kehidupan manusia sehari-hari, sehingga ketika
mereka merumuskan UUD 1945 tempo doeloe terdapat point yang selaras
dengan hadits tersebut. Inilah pasalnya:
“Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 ayat 3, UUD 1945).
Hampir
mirip dengan ekonomi sosialis, sistem ekonomi Islam pun menganut
totalitas pengaturan sumber daya alam (SDA). Islam mewajibkan NEGARA
sebagai penguasa SDA dan sekaligus pengelolanya dalam rangka menjamin
kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Itulah yang
seharusnya dikerjakan oleh negara cq pemerintah.
Dalam
praktek timbul kerancuan-kerancuan baik tataran pemahaman terutama
tahap implementasi atas penafsiran pasal 33 ayat 3 tersebut. Yang muncul
kini seolah-olah negara telah menguasai SDA, tetapi porsinya sangat
kecil. Negara dalam hal ini ialah BUMN hampir-hampir tidak mampu
bersaing manakala berhadapan dengan Multi-National Corporations (MNCs)
yakni para korporasi global milik asing yang mendapat porsi lebih besar
dalam pengelolaan SDA di tanah air.
Yang
terjadi kini, neoliberalisme memberi monopoli atas tanah, pertambangan
dan energi. Ini berimbas langsung pada kurangnya pendapatan negara,
bahkan untuk konsumsi rakyat pun tidak mampu dipenuhi. Betapa ironisnya,
negara dengan garis pantai terpanjang di dunia tetapi mengimpor garam,
atau negara dengan curah hujan tinggi namun mengimpor beras, kedelai dan
lainnya. Negeri lingkaran sabuk api yang dipastikan kaya tambang dan
mineral tapi karena ketidakmampuan pemerintah mengelolanya maka rakyat
dikorbankan. Ya. Rakyat dipaksa membeli dengan harga tinggi untuk produk
yang justru berasal dari tanah airnya sendiri. Pertanyaannya ialah,
bagaimana pemerintah bisa memberikan manfaat dan kesejahteraan bagi
rakyat sedang dalam pengelolaannya ia (salah urus) seperti ini?
Dalam
kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan bahwa seyogyanya arah
pembangunan negeri ini lebih menitikberatkan pada pembentukan BUMN-BUMN
baru di beberapa sektor, bukannya malah diprivatisasi seperti yang
sudah-sudah terutama sektor-sektor stategis sesuai amanat pasal 33
ayat 3 UUD 1945. What lies beneath the surface. Apa yang terkandung di
bawah permukaan!
BUMN VS MNCs
“Ketika
Exxonmobil tahun 2011 berpendapatan $ 354,674 milyar US atau sekitar
Rp 3263,00 trilyun, sementara rakyat Indonesia masih banyak di bawah
garis kemiskinan”
Prestasi
pemerintah atas penerimaan negara tembus 1000 trilyun rupiah agar
dikelola secara optimal demi kemanfaatan yang lebih besar bagi Indonesia
di masa depan. Artinya rencana program harus lebih realistis dengan
melihat kenyataan selama ini terutama penguasaan SDA oleh para MNCs
milik asing. Itulah tantangan di depan mata.
Seyogyanya
10% atau lebih penerimaan negara tadi digunakan untuk hal-hal lebih
produktif, misalnya pembentukan BUMN baru di beberapa sektor stategis
terutama pangan, maritim, energi dan lainnya. Minimal kebutuhan dalam
negeri bisa dipenuhi secara mandiri sebelum melakukan ekspor keluar.
Sebagai contoh sektor minyak dan gas (migas) perlu bahkan mutlak dibuat
beberapa BUMN lagi guna mengambil alih penguasaan MNCs ketika saatnya
selesai kontrak atau tatkala renegosiasi kontrak karya.
Atau
jika ada program percepatan (MP3EI) maka ada realisasi menambah BUMN
baru lagi dengan partner swasta dalam negeri. Jika alasan utama karena
ketidakcukupan modal, percepatan di sektor migas. Perlu dibentuk join
holding company, misalnya melalui kerjasama dengan pihak Pertamina,
Humpuss, Bakrie, Medco dan lainnya.
Adanya
beberapa BUMN baru niscaya bakal menambah kekuatan fundamental ekonomi
riil. Dan seyogyanya terus dikembangkan senada dengan sektor-sektor
strategis lain, seperti pertambangan, kelautan, pangan dan lainnya. Hal
ini dirasakan sangat mendesak, mengingat 90% pengelolaan minyak dan gas
(migas) di Indonesia dikuasai oleh MNCs atau perusahaan-perusahaan
asing.
Betapa
riskannya, ketika Exxonmobil salah satu MNCs yang masuk daftar 15
perusahaan dengan pendapatan terbesar versi CNN Money, pada tahun 2011
berpendapatan $ 354,674 milyar US atau sekitar Rp 3263,00 trilyun,
sementara banyak rakyat Indonesia masih dalam kemiskinan. Paling tidak
para MNCs menikmati 40% hasil dari migas Indonesia, jika angka produksi
yang mereka laporkan adalah benar. Kemudian
untuk pertambangan emas, perak, tembaga dan sebagainya terlihat lebih
parah lagi. Para MNCs dan perusahaan asing mendapat bagian 85% sedang
pemilik kedaulatan negeri ini yakni rakyat Indonesia sejumlah 230 juta
orang harus puas dengan 15%. Ironis!
Menurut
PENA, setiap tahun perusahaan-perusahaan asing mendapat kekayaan alam
dari Indonesia sebesar Rp 2.000 trilyun/tahun. Seandainya MNCs atau
perusahaan-perusahaan asing tersebut memberi sekitar Rp 10-20 trilyun
kepada para komprador (kaki tangannya) di Indonesia mereka tetap jauh
lebih untung, untung dan untung. Bagaimana rakyat ini bisa makmur? Betapa
bila nanti semua kekayaan alam di Indonesia telah dikelola sendiri oleh
negara cq pemerintah, maka hutang yang menumpuk Rp 1.900 trilyun bisa
dibayar hanya dalam waktu setahun. Dan secara logika, APBN berikutnya
dipastikan meningkat tiga kali lipat yang berasal dari hasil SDA asli
Indonesia. Ya. Tanpa beban hutang sedikitpun!
Ayo, Nasionalisasi!
“Tatkala
kekayaan alam suatu bangsa dikelola oleh pihak asing, maka alamat
negara itu tidak bakalan maju dan tak akan mampu mensejahterakan
rakyatnya, sebagai pemilik kedaulatan”
Cara
lain yang bisa ditempuh adalah nasionalisasi setiap perusahaan asing di
Indonesia. Misalnya Cuba sudah melakukan pada tahun 1960-an dulu, atau
Venezuela, bahkan Arab Saudi sudah lebih dulu menasionalisasi perusahaan
minyak Aramco era 1974-an dan akhirnya meningkatkan pendapatan
pemerintah secara besar-besaran sehingga bisa mendanai pembangunan
ekonomi secara masif (Ensiklopedi MS Encarta).
Memang
Arab Saudi kaya akan minyak, akan tapi bukakah Indonesia bukan cuma
punya migas saja? Ya, Indonesia memiliki emas, tembaga, perak, mineral
langka, hutan, kebun, sawah, dan laut yang luasnya 5 juta km, atau lebih
dari dua kali lipat luas Arab Saudi.
Tatkala
kekayaan alam suatu bangsa dikelola oleh pihak asing, maka negara itu
tidak bakalan maju dan tak akan mampu mensejahterakan rakyatnya.
Lihatlah negara-negara yang maju seperti AS, Inggris, Perancis, Jerman,
Cina, Rusia, Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Venezuela, Brazil dan
sebagainya, mereka tidak mau menyerahkan kekayaan alamnya kepada pihak
asing. Harusnya Pemimpin bangsa dan ekonom Indonesia berjuang agar
Indonesia bisa mandiri dan mampu berdikari. Dibutuhkan good will dan
political action untuk melakukan semua itu dari berbagai kalangan secara
gegap gempita.
Revisi Pola dan Modus MP3EI
“Ubah pola yang salah , termasuk ketergantungan terhadap utang dan modal asing”
Segala
nada miring dan suara sumbang atas MP3EI hendaknya dijadikan cambuk
sekaligus revisi guna perbaikan pola tranformasi ekonomi Indonesia.
Jangan timbul anggapan, bahwa susah-susah negara membangun kereta api
batu bara di Kalimantan, ternyata pengelola tambangnya justru perusahaan
asing semua. Pemerintah membangun kereta api cepat Jakarta - Banyuwangi
hanya untuk mempermudah investor tambang emas dan explorasi Blok Cepu.
Atau kita berencana membangun tol lintas Sumatra, jangan-jangan hanya
untuk menguntungkan MNCs yang rencana mengeksplorasi migas di Aceh, emas
di Medan dan lainnya.
Maka
pemerintah harus lebih jeli atas pola yang hanya menitik beratkan
pembangunan infrastruktur, tanpa menambah jumlah BUMN yang berproduksi
pada tiap-tiap sektor strategis. Ubah pola yang salah , termasuk
ketergantungan terhadap utang dan modal asing sebagai penyertaan MP3EI
dalam patnership nanti.
Demikian adanya, demikan sebaiknya.
Sumber:
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=mp3ei&source=web&cd=1&ved=0CDIQFjAA&url=
http://money.cnn.com/magazines/fortune/global500/2011/full_list/index.html
http://mep.ugm.ac.id/index.php/8-news/69-kuliah-umum-sosialisasi-mp3ei
http://www.theglobal-review.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar